Meninggalnya
aktor komedian muda Olga Syahputra, harus
menjadi uswah (contoh), ibrah (pelajaran), dan mau'izhah (nasehat). Setidaknya bagi
pelaku industri hiburan di tanah air.
Mereka
semakin asing dengan jasad tempat hidupnya yang memberi energi. Tidak memiliki
kontrol atas raganya sendiri dengan alasan produktivitas. Kehilangan sisi
manusiawinya -- aji mumpung -- mengejar upah, dengan alasan selagi ada kesempatan,
namun mengabaikan kesehatan.
“Olga
sering curhat. Dia bilang tiap hari benar-benar full kerja. Dua tahun lalu, saat
acara sahur dia curhat sambil menangis. Beberapa kali mengatakan bahwa dia
sebenarnya lelah. ‘Tapi mau gimana lagi’ kata Olga. Dia lebih takut kehilangan
waktu, mumpung dapat kesempatan,” papar Aditya Gumay, pimpinan Sanggar Ananda,
tempat dulu almarhum Olga menimba ilmu seni peran.
Aditya
Gumay sempat tidak percaya bahwa Olga Syahputra sudah meninggal. Sebab beberapa
kali komedian ini diisukan meninggal. Namun setelah kabar tersebut ramai
diberitakan media, Aditya kemudian mencoba menghubungi keluarga almarhum. “Kali
ini positif bahwa Olga benar meninggal,” kata Aditya Gumay, yang ditemui galamedianews.com,
usai premier film “Ada Surga Di Rumahmu, di Bioskop XXI Epicentrum Kuningan
Jakarta Selatan, Jum’at (27/03/2015).
Olga Syahputra meninggal di Rumah
Sakit Mount Elizabeth di Singapura, Jumat (27/3/2015), sekitar
pukul 16.17 WIB, karena penyakit meningitis yang dideritanya. Komedian kelahiran Jakarta, 8
Februari 1983 ini sebelumnya sempat dirawat Rumah Sakit Pondok Indah
Jakarta, karena diduga mengalami penyakit radang selaput otak. Karena keadaan yang juga belum membaik,
Olga sempat melakukan pengobatan di Jerman, hingga akhirnya melakukan perawatan
di Singapura selama hamper setahun.
Menurut Aditya Gumay, Olga gabung di Sanggar
Ananda sejak ia masih pelajar kelas III SMP (tahun 2001). “Dia pemuda amat sangat
pemalu. Kalau lagi latihan akting dia sosok yang suka sembunyi di belakang. Sangat
gugup. Tapi seiring perkembangan waktu dan ketekunannya dia bisa sukses menjadi
bintang seperti sekarang,” cerita Aditya.
Masih
di Sanggar Ananda dan Smaradhana Production, tahun 2002 Olga dipercaya menjadi
pemeran sekaligus presenter reality show plus “Oh Seram” (ANTV). Tayangan
ini semakin populer dan mendapat rating
relatif baik sehingga melambungkan nama Olga. Di tahun 2003, Olga Syahputra bersama
Ruben Onsu, dan Lia Waode, kembali dipercaya untuk memperkuat drama “New Misteri” (ANTV) yang juga mendapat
respon bagus dari pemirsa. Untuk semakin menancapkan eksistensinya, ketiga
bakat muda ini kemudian membentuk grup komedian “Pecel Lele” (Penghibur,Centil, Lenjeh & Lemes).
Tahun
2003 Olga Syahputra, Ruben Onsu, dan Lia Waode (Pecel Lele) tampil dalam event “Ghost Mania Festival” yang
diselenggarakan atas kerjasama Smaradhana Pro dan Harian Galamedia, di Sultan Plaza, Jl. Cihampelas No. 211 Bandung.
“Waktu itu, mereka enggak dibayar, bisa tidur di hotel saja sudah senang. Karena
waktu itu mereka memang belum bintang dan program itu bagian dari acara promosi
tayangan Oh Seram dan New Mistery,” cerita Aditya.
12
tahun berlalu kenyataan pun berubah. Olga pun terasing dari nikmatnya kebersamaan
dalam berkesenian, dengan ketulusan, dan kejujurannya waktu itu. Ia masuk ke
dalam surga industri yang dihadirkan kapitalisme. Industri yang seakan berhak mengekspliotasi
segala hal untuk memperoleh uang yang sebesar-besarnya, yang pada akhirnya Olga
menjadi tumbal mesin industri hiburan dan melupakan sisi manusiawinya. “Dia
sebenarnya lelah. Tapi mau gimana lagi. Dia lebih takut kehilangan waktu,
mumpung dapat kesempatan.”
Sekali
lagi, sakitnya Olga Syahputra hingga berpulangnya almarhum ke rahmatullah, harus
menjadi uswah (contoh), ibrah (pelajaran), dan mau'izhah (nasehat). Setidaknya bagi
pelaku industri hiburan di tanah air. “Jagalah kesehatanmu! Jika bukan kita
siapa lagi. Jika bukan sekarang kapan lagi.”/***Eddie Karsito
Jakarta,
28 Maret 2015
No comments:
Post a Comment