Sejarawan Zasnis Sulungs kepada METRO
menuturkan, sesuai rentetan penelitian yang dilakukan pihaknya, etnis
Tionghoa di Nusantara ini dimakamkan di tempat itu, diduga dibawa Bangsa
Portugis dari Malaka sejak tahun 1516 M, yang awalnya bertujuan untuk
membantu kelancaran misi perdagangan.
Sumber referensi ilmiah yang ada,
memperlihatkan Portugis telah bersentuhan dengan komunitas Jawa Hindu,
Batak dan Melayu, untuk melakukan perdagangan sistem barter, terhadap
barang-barang hasil bumi lokal di Kampung Perbandaran yang sengaja
dibangun Portugis dibagian hulu Sei Silau. Kemudian, nama Perbandaran
itu menjadi cikal bakal nama Desa Bandar Pasir Mandoge.
Lokasi penemuan situs itu, bisa ditempuh
dengan jalan kaki sejauh 1,5 kilomeyer, melalui jalan setapak dari
belakang Pabrik Kelapa Sawit (PKS) AIP di perbatasan Dusun VI, Desa
Bandar Pasir Mandoge dengan Dusun I, Desa Sukamakmur.
Jalan itu merupakan jalan darurat,
berbatu padas yang cukup terjal, dan sulit dilalui kendaraan bermotor.
Sedangkan jalan alternatif lainnya, dapat dilakukan dengan menempuh
jalur Sei Silau dari Desa Sionggang, menggunakann sampan atau perahu
karet bermesin.
Ketika ditemukan oleh ekspedisi Budaya
Asahan, kondisi komplek pemakaman sangat memprihatinkan. Karena sudah
rata dengan tanah dan tidak memiliki tanda-tanda gundukan sebagai sebuah
pemakaman yang layak.
Walau pun demikian, masih ada yang
menggembirakan. Karena di tempat itu masih bisa ditemukan beberapa buah
batu nisan bertulisan “kanji” Mandarin yang berukuran 40 cm X 80 cm,
berwarna coklat dan putih, dengan tulisan Mandarin terukir rapi.
Melihat bentuk batu nisannya yang kokoh,
maka kuat dugaan batu nisan itu bukan dibuat di daerah ini, namun
sengaja dibawa dari Malaka (Malaysia). Sekalipun sudah mulai agak kabur,
tapi satu di antaranya masih bisa dibaca dan diterjemahkan oleh seorang
Suhu Pekong di Kisaran.
Menurut suhu yang enggan namanya
dikorankan ini, dari tulisan diketahui, nisan itu adalah milik gadis
bernama Huang Siu Cu, cicit dari Pai Se Cuang. Gadis itu, dinyatakan
meninggal tanggal 20-5-1548 M. Tapi mengenai tahun kematian itu, masih
memerlukan penelitian.
Sebab, tulisannya agak kabur dan akan
diusahakan menyingkapnya secara batiniah. Sedangkan batu nisan lainnnya,
juga sedang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh para pakar etnis
Tionghoa Kisaran.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan,
setelah Portugis berhasil meruntuhkan kerajaan Melayu Malaka tahun 1511
M, maka pihak agresor telah mengembangkan sayap misi dagangnya secara
menggurita sampai ke wilayah pantai Timur Sumatera Utara, yang ketika
itu di bawah pengaruh Aceh.
Salah satu daerah yang dipilih Portugis
untuk menjalankan misi dagang, adalah dibagian hulu Sei Silau. Di sana
Portugis telah membangun sebuah Kemp dan Bandar Pelabuhan dengan nama
Perbandaran yang ketika itu terbilang sangat ramai dikunjungi komunitas
setempat dan juga yang sengaja datang dari Simalungun dan Toba.
Parbandaran ini, telah menjadi sentra
ekonomi utama, yang menampung hasil bumi berupa rempah-rempah, kayu
ulim, gading gajah, ternak, getah rambung merah, kulit hewan, dan bahkan
budak belian.
Secara tetap, pihak Portugis telah
membawa kapal-kapal kargo, bersama barang-barang impor berupa tekstil,
sutera, bdelacu, barang pecah belah, segala jenis senjata tajam, cermin,
candu dan lain-lainnya mudik ke kampung Perbandaran tersebut.
Kemudian barang-barang impor itu telah
disebarkan ke dalam bangunan rumah toko terbuat dari papan yang sengaja
dibangun di pinggir Sei Silau. Nah, pada toko-toko milik Portugis itulah
orang-orang Tionghoa ditempatkan untuk menjajakan barang-barang
dagangan impor.
Sedangkan kelompok Tionghoa lain, ada
yang menjadi kuli di pelabuhan, membuka toko sepatu, tukang jahit
pakaian dan kerani. Kegiatan usaha yang dilakukan saat itu, dengan
menggunakan sistem barter.
Di mana barang-barang komiditas ekspor
lokal, berupa rempah-rempah, padi, kayu ulim, ternak, kulit ternak,
getah rambung merah, madu, gading gajah, bahkan “budak belian” telah
ditukarkan dengan barang-barang impor dengan sistem barter tadi.
Sedangkan uang resmi yang dipergunakan
sebagai alat pembayaran yang sah, ialah Ringgit Spanyol. Menurut Zasnis,
Portugis melakukan misi dagangnya di bagian hulu Sei Silau Kabupaten
Asahan mencapai 125 tahun (1516-1641M).
Kemudian pada tahun 1641 M, kegiatan misi
dagang itu tiba-tiba saja berhenti. Ketika itu tentara, penguasaha dan
pembantunya yang setia mayoritas dari Tionghoa, diperintahkan segera
meninggalkan kampung Perbandaran tersebut dan semuanya menaiki
kapal-kapal kargo, untuk selanjutnya melakukan pelayaran ke Goa (India).
Ternyata tahun 1641 M itu, Portugis telah
kalah perang dengan Belanda, sehingga mereka terusir dari Malaka. Nah,
yang tertingal di kampung Perbandaran itu, hanyalah sejumlah bangunan
kosong dan kuburan-kuburan etnis Tionghoa, yang telah meninggal dunia
akibat serangan penyakit malaria.
Pekuburan itu, sekaligus berfungsi
sebagai saksi bisu tentang keberadaan Portugis di tempat ini di masa
lalu. Sayangnya, kata Zasnis, ketika ditemukan kembali, ternyata kondisi
komplek pemkaman sungguh memilukan. Kuburan itu tidak memiliki gundukan
tanah dan yang tersisa hanyalah beberapa buah batu nisan yang masih
utuh.
“Makam-makam etnis Tionghoa merupakan
situs cagar budaya yang memperkaya khasanah budaya Kabupaten Asahan.
Oleh karena itu, saya telah meminta Bupati Asahan Drs H Taufan Gama
Simatupang MAP, untuk memelihara dan melestarikan makam bersejarah
itut,” kata Zasnis.
Batu Kanihir
Terungkapnya keberadaan Portugis di bagian hulu Sei Silau Kabupaten Asahan tersebut, berdasarkan tulisan seorang utusan Gubernur Inggris dari Pulau Pinang (Penang), bernama Jhon Anderson, dalam bukunya “Mission To The Eastcoast of Sumatera”, tahun 1823 M.
Terungkapnya keberadaan Portugis di bagian hulu Sei Silau Kabupaten Asahan tersebut, berdasarkan tulisan seorang utusan Gubernur Inggris dari Pulau Pinang (Penang), bernama Jhon Anderson, dalam bukunya “Mission To The Eastcoast of Sumatera”, tahun 1823 M.
Dalam catatan harian Jhon Anderson,
disebutkan bahwa pada tanggal 26 Pebruari 1823 M, dia bersama rombongan
telah datang ke Sirantau (Pante Olang) Tangjungbalai, untuk menemui
Sultan Asahan ke-VII, Tuanku Mohammad Husinsyah (1808-1859 M), yang
bersemayam di sana.
Ada pun maksud dan tujuannya adalah untuk
mendapatkan data-data mengenai kondisi ekonomi, politik dan budaya di
Kesultanan Negeri Asahan. Namun, Jhon Anderson mengatakan dia tidak
dapat bertemu dengan Sultan Asahan, karena baginda sedang berada di hulu
Sei Silau, untuk memerangi kelompok orang Batak yang berpihak kepada
Raja Ishak.
Ketika itu, telah terjadi perebutan
kekuasaan di Kesultanan Asahan, antara Sultan Muhammad Husinsyah dengan
Raja Ishak, yang menimbulkan peperangan sengit di bagian hulu Sei Asahan
dan Sei Silau.
Saat itu daerah Asahan telah dibagi dua,
di mana dari Tanjungbalai sampai ke Bandar Pulau diperintah oleh Raja
Ishak. Sedang dari Sirantau ke Bandar Pasir Mandoge di perintah oleh
Sultan Muhammad Husinsyah.
Namun orang-orang Batak di Bandar Pasir
Mandoge banyak yang menyeberang ke pihak Raja Ishak, sehingga Sultan
Muhammad Husinsyah yang dibantu Raja Sitorus Pane, terpaksa memerangi
orang-orang Batak tersebut.
Pada tanggal 5 Maret 1823, Jhon Anderson
telah sampai ke kampung Bandar Pasir Mandoge yang ketika itu
bangunan-bangunan rumah dikampung ini terlihat agak kumuh. Orang Ingris
ini telah disambut oleh Raja Daurung Sitorus Pane, yang merupakan mertua
Sultan Asahan.
Dalam catatannya, Jhon Anderson
mengatakan dalam perjalanan mudik kehulu Sei. Silau tersebut ia telah
melewati 2 buah batu yang ganjil setinggi 200 meter didua sisi sungai
tersebut. Selanjutnya menemukan dua buah batu besar yang disebut batu
“Kanihir” (Dikikir), yang seakan-akan bagaikan terowongan yang ingin
menghambat aliran Sei Silau tersebut.
Dikatakan, dahulu kala kedua batu besar
itu hampir menutup aliran Sei Silau, tapi ketika Portugis datang
melakukan misi dagang ke tempat ini, batu itu telah dikikir sampai
selebar 20 meter, sehingga kapal-kapal kargo Portugis bisa sampai ke
kampung Perbandaran.
Batu-batu yang ditemukan oleh Jhon
Anderson tersebut, hingga sekarang masih bisa ditemukan dibagian hulu
Sei Silau tersebut, sebagai monumen alami tentang keberandaan Portugis
di tempat ini di masa lalu. (Ing)
No comments:
Post a Comment