Monday 30 March 2015

Sepatu Bunut terpinggirkan...

Belilah produk dalam negeri asli buatan bangsa sendiri. Slogan ini mengingatkan kita akan sebuah momentum buka-bukaan sepatu oleh salah seorang calon presiden RI dalam kesempatan kampanye dialogis di sebuah stasiun televisi swasta. Sepatu buatan Cibaduyut Bandung Ia jadikan sebagai simbol kebangkitan produk bangsa sendiri dan nasionalisme konsumen Indonesia. Tetapi, kita orang Sumatera Utara tidak perlu jauh-jauh ke Bandung, di Asahan juga ada produk sepatu kulit lokal yang tidak kalah mutunya dengan produk dari Cibaduyut, bahkan beberapa pengrajin mampu membuatnya dengan kualitas manca negara. Sepatu kulit ini dahulu konon merupakan produk pabrikan buatan USA, dan setelah puluhan tahun pabrik ditutup, para pengrajin ex karyawan pabrik sepatu kulit ini secara turun temurun terus mengembangkannya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya industri khas dari Asahan.


Adalah daerah Bunut, salah satu daerah pinggiran Kota di Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, selama ini menjadi sentra industri Sepatu Kulit berlabel "Bunut". Tentu saja ini menjadi salah satu kebanggaan kita sebagai warga Asahan, dan [harusnya] juga menjadi kebanggaan bansa Indonesia. Namun ironisnya Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menempatkan "Sepatu Kulit dari Bunut" menjadi bagian penting untuk pengembangan potensi lokal di Asahan. Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menjadikan industri rumahan Sepatu Kulit dari Bunut ini sebagai salah satu ikon potensi daerah dalam website Pemkab Asahan. Padahal, Malaysia misalnya, "dibela-belain" menjadikan Tari Pendet Bali dan Batik sebagai bagian dari potensi pariwisatanya, tetapi kita yang memiliki potensi lokal industri rumahan sepatu kulit dari Bunut dibiarkan hidup meranggas tanpa bantuan fasilitas yang memadai dari Pemerintah. Jangan sampai kelak Sepatu Kulit dari Bunut juga di klaim sebagai produk karya negara tetangga, dan persoalannya adalah apakah Pemerintah Kabupaten Asahan peduli dengan ancaman ini?

 

Ini menjadi keprihatinan Seputar Asahan, dan tentusaja [harusnya] merupakan keprihatinan kita bersama. Jika kita amati di sepanjang Jalan Sudirman, Bunut beberapa pengrajin lama yang memiliki "toko" sederhana berdinding papan [kayu], tampak seperti telah mati suri. Bahkan salah satu pengrajin yang memiliki toko keshohor di jamannya seperti misalnya "Egalite" dan "Bunut Shoes" harus menutup tokonya setengah hari karena sepinya pembeli. Pemerintah Kabupaten Asahan tampaknya tidak hanya kurang peduli, bahkan tidak cukup kreatif untuk mempromosikan potensi ini menjadi bagian dari kampanye cinta industri lokal dan pariwisata Asahan.
Belilah produk dalam negeri asli buatan bangsa sendiri. Slogan ini mengingatkan kita akan sebuah momentum buka-bukaan sepatu oleh salah seorang calon presiden RI dalam kesempatan kampanye dialogis di sebuah stasiun televisi swasta. Sepatu buatan Cibaduyut Bandung Ia jadikan sebagai simbol kebangkitan produk bangsa sendiri dan nasionalisme konsumen Indonesia. Tetapi, kita orang Sumatera Utara tidak perlu jauh-jauh ke Bandung, di Asahan juga ada produk sepatu kulit lokal yang tidak kalah mutunya dengan produk dari Cibaduyut, bahkan beberapa pengrajin mampu membuatnya dengan kualitas manca negara. Sepatu kulit ini dahulu konon merupakan produk pabrikan buatan USA, dan setelah puluhan tahun pabrik ditutup, para pengrajin ex karyawan pabrik sepatu kulit ini secara turun temurun terus mengembangkannya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya industri khas dari Asahan. Adalah daerah Bunut, salah satu daerah pinggiran Kota di Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, selama ini menjadi sentra industri Sepatu Kulit berlabel "Bunut". Tentu saja ini menjadi salah satu kebanggaan kita sebagai warga Asahan, dan [harusnya] juga menjadi kebanggaan bansa Indonesia. Namun ironisnya Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menempatkan "Sepatu Kulit dari Bunut" menjadi bagian penting untuk pengembangan potensi lokal di Asahan. Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menjadikan industri rumahan Sepatu Kulit dari Bunut ini sebagai salah satu ikon potensi daerah dalam website Pemkab Asahan. Padahal, Malaysia misalnya, "dibela-belain" menjadikan Tari Pendet Bali dan Batik sebagai bagian dari potensi pariwisatanya, tetapi kita yang memiliki potensi lokal industri rumahan sepatu kulit dari Bunut dibiarkan hidup meranggas tanpa bantuan fasilitas yang memadai dari Pemerintah. Jangan sampai kelak Sepatu Kulit dari Bunut juga di klaim sebagai produk karya negara tetangga, dan persoalannya adalah apakah Pemerintah Kabupaten Asahan peduli dengan ancaman ini? Ini menjadi keprihatinan Seputar Asahan, dan tentusaja [harusnya] merupakan keprihatinan kita bersama. Jika kita amati di sepanjang Jalan Sudirman, Bunut beberapa pengrajin lama yang memiliki "toko" sederhana berdinding papan [kayu], tampak seperti telah mati suri. Bahkan salah satu pengrajin yang memiliki toko keshohor di jamannya seperti misalnya "Egalite" dan "Bunut Shoes" harus menutup tokonya setengah hari karena sepinya pembeli. Pemerintah Kabupaten Asahan tampaknya tidak hanya kurang peduli, bahkan tidak cukup kreatif untuk mempromosikan potensi ini menjadi bagian dari kampanye cinta industri lokal dan pariwisata Asahan Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Belilah produk dalam negeri asli buatan bangsa sendiri. Slogan ini mengingatkan kita akan sebuah momentum buka-bukaan sepatu oleh salah seorang calon presiden RI dalam kesempatan kampanye dialogis di sebuah stasiun televisi swasta. Sepatu buatan Cibaduyut Bandung Ia jadikan sebagai simbol kebangkitan produk bangsa sendiri dan nasionalisme konsumen Indonesia. Tetapi, kita orang Sumatera Utara tidak perlu jauh-jauh ke Bandung, di Asahan juga ada produk sepatu kulit lokal yang tidak kalah mutunya dengan produk dari Cibaduyut, bahkan beberapa pengrajin mampu membuatnya dengan kualitas manca negara. Sepatu kulit ini dahulu konon merupakan produk pabrikan buatan USA, dan setelah puluhan tahun pabrik ditutup, para pengrajin ex karyawan pabrik sepatu kulit ini secara turun temurun terus mengembangkannya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya industri khas dari Asahan. Adalah daerah Bunut, salah satu daerah pinggiran Kota di Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, selama ini menjadi sentra industri Sepatu Kulit berlabel "Bunut". Tentu saja ini menjadi salah satu kebanggaan kita sebagai warga Asahan, dan [harusnya] juga menjadi kebanggaan bansa Indonesia. Namun ironisnya Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menempatkan "Sepatu Kulit dari Bunut" menjadi bagian penting untuk pengembangan potensi lokal di Asahan. Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menjadikan industri rumahan Sepatu Kulit dari Bunut ini sebagai salah satu ikon potensi daerah dalam website Pemkab Asahan. Padahal, Malaysia misalnya, "dibela-belain" menjadikan Tari Pendet Bali dan Batik sebagai bagian dari potensi pariwisatanya, tetapi kita yang memiliki potensi lokal industri rumahan sepatu kulit dari Bunut dibiarkan hidup meranggas tanpa bantuan fasilitas yang memadai dari Pemerintah. Jangan sampai kelak Sepatu Kulit dari Bunut juga di klaim sebagai produk karya negara tetangga, dan persoalannya adalah apakah Pemerintah Kabupaten Asahan peduli dengan ancaman ini? Ini menjadi keprihatinan Seputar Asahan, dan tentusaja [harusnya] merupakan keprihatinan kita bersama. Jika kita amati di sepanjang Jalan Sudirman, Bunut beberapa pengrajin lama yang memiliki "toko" sederhana berdinding papan [kayu], tampak seperti telah mati suri. Bahkan salah satu pengrajin yang memiliki toko keshohor di jamannya seperti misalnya "Egalite" dan "Bunut Shoes" harus menutup tokonya setengah hari karena sepinya pembeli. Pemerintah Kabupaten Asahan tampaknya tidak hanya kurang peduli, bahkan tidak cukup kreatif untuk mempromosikan potensi ini menjadi bagian dari kampanye cinta industri lokal dan pariwisata Asahan Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Belilah produk dalam negeri asli buatan bangsa sendiri. Slogan ini mengingatkan kita akan sebuah momentum buka-bukaan sepatu oleh salah seorang calon presiden RI dalam kesempatan kampanye dialogis di sebuah stasiun televisi swasta. Sepatu buatan Cibaduyut Bandung Ia jadikan sebagai simbol kebangkitan produk bangsa sendiri dan nasionalisme konsumen Indonesia. Tetapi, kita orang Sumatera Utara tidak perlu jauh-jauh ke Bandung, di Asahan juga ada produk sepatu kulit lokal yang tidak kalah mutunya dengan produk dari Cibaduyut, bahkan beberapa pengrajin mampu membuatnya dengan kualitas manca negara. Sepatu kulit ini dahulu konon merupakan produk pabrikan buatan USA, dan setelah puluhan tahun pabrik ditutup, para pengrajin ex karyawan pabrik sepatu kulit ini secara turun temurun terus mengembangkannya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya industri khas dari Asahan. Adalah daerah Bunut, salah satu daerah pinggiran Kota di Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, selama ini menjadi sentra industri Sepatu Kulit berlabel "Bunut". Tentu saja ini menjadi salah satu kebanggaan kita sebagai warga Asahan, dan [harusnya] juga menjadi kebanggaan bansa Indonesia. Namun ironisnya Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menempatkan "Sepatu Kulit dari Bunut" menjadi bagian penting untuk pengembangan potensi lokal di Asahan. Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menjadikan industri rumahan Sepatu Kulit dari Bunut ini sebagai salah satu ikon potensi daerah dalam website Pemkab Asahan. Padahal, Malaysia misalnya, "dibela-belain" menjadikan Tari Pendet Bali dan Batik sebagai bagian dari potensi pariwisatanya, tetapi kita yang memiliki potensi lokal industri rumahan sepatu kulit dari Bunut dibiarkan hidup meranggas tanpa bantuan fasilitas yang memadai dari Pemerintah. Jangan sampai kelak Sepatu Kulit dari Bunut juga di klaim sebagai produk karya negara tetangga, dan persoalannya adalah apakah Pemerintah Kabupaten Asahan peduli dengan ancaman ini? Ini menjadi keprihatinan Seputar Asahan, dan tentusaja [harusnya] merupakan keprihatinan kita bersama. Jika kita amati di sepanjang Jalan Sudirman, Bunut beberapa pengrajin lama yang memiliki "toko" sederhana berdinding papan [kayu], tampak seperti telah mati suri. Bahkan salah satu pengrajin yang memiliki toko keshohor di jamannya seperti misalnya "Egalite" dan "Bunut Shoes" harus menutup tokonya setengah hari karena sepinya pembeli. Pemerintah Kabupaten Asahan tampaknya tidak hanya kurang peduli, bahkan tidak cukup kreatif untuk mempromosikan potensi ini menjadi bagian dari kampanye cinta industri lokal dan pariwisata Asahan Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Komplek pemakaman etnis Thionghoa, diperkirakan berusia 5 Abad di Hulu Sungai Silau


Lembaga Pelestarian Situs dan Cagar Budaya Asahan, pada tahun 2013 lalu menemukan situs sejarah penting berupa komplek pemakaman di Kabupaten Asahan, berupa komplek pemakaman etnis Thionghoa, diperkirakan berusia 5 Abad di Hulu Sungai Silau, Desa Bandar Pasir Mandoge.
Sejarawan Zasnis Sulungs kepada METRO menuturkan, sesuai rentetan penelitian yang dilakukan pihaknya, etnis Tionghoa di Nusantara ini dimakamkan di tempat itu, diduga dibawa Bangsa Portugis dari Malaka sejak tahun 1516 M, yang awalnya bertujuan untuk membantu kelancaran misi perdagangan.
Sumber referensi ilmiah yang ada, memperlihatkan Portugis telah bersentuhan dengan komunitas Jawa Hindu, Batak dan Melayu, untuk melakukan perdagangan sistem barter, terhadap barang-barang hasil bumi lokal di Kampung Perbandaran yang sengaja dibangun Portugis dibagian hulu Sei Silau. Kemudian, nama Perbandaran itu menjadi cikal bakal nama Desa Bandar Pasir Mandoge.
Lokasi penemuan situs itu, bisa ditempuh dengan jalan kaki sejauh 1,5 kilomeyer, melalui jalan setapak dari belakang Pabrik Kelapa Sawit (PKS)  AIP di perbatasan Dusun VI, Desa Bandar Pasir Mandoge dengan Dusun I, Desa Sukamakmur.
Jalan itu merupakan jalan darurat, berbatu padas yang cukup terjal, dan sulit dilalui kendaraan bermotor. Sedangkan  jalan alternatif lainnya, dapat dilakukan dengan menempuh jalur Sei Silau dari Desa Sionggang, menggunakann sampan atau perahu karet bermesin.
Ketika ditemukan oleh ekspedisi Budaya Asahan, kondisi komplek pemakaman sangat memprihatinkan. Karena sudah rata dengan tanah dan tidak memiliki tanda-tanda gundukan sebagai sebuah pemakaman yang layak.
Walau pun demikian, masih ada yang menggembirakan. Karena di tempat itu masih bisa ditemukan beberapa buah batu nisan bertulisan “kanji” Mandarin yang berukuran 40 cm X 80 cm, berwarna coklat dan putih, dengan tulisan Mandarin terukir rapi.
Melihat bentuk batu nisannya yang kokoh, maka kuat dugaan batu nisan itu bukan dibuat di daerah ini, namun sengaja dibawa dari Malaka (Malaysia). Sekalipun sudah mulai agak kabur, tapi satu di antaranya masih bisa dibaca dan diterjemahkan oleh seorang Suhu Pekong di Kisaran.
Menurut suhu yang enggan namanya dikorankan ini, dari tulisan diketahui, nisan itu adalah milik gadis bernama Huang Siu Cu, cicit dari Pai Se Cuang. Gadis itu, dinyatakan meninggal tanggal 20-5-1548 M. Tapi mengenai tahun kematian itu, masih memerlukan penelitian.
Sebab, tulisannya agak kabur dan akan diusahakan menyingkapnya secara batiniah. Sedangkan batu nisan lainnnya, juga sedang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh para pakar etnis Tionghoa Kisaran.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan, setelah Portugis berhasil meruntuhkan kerajaan Melayu Malaka tahun 1511 M, maka pihak agresor telah mengembangkan sayap misi dagangnya secara menggurita sampai ke wilayah pantai Timur Sumatera Utara, yang ketika itu di bawah pengaruh Aceh.
Salah satu daerah yang dipilih Portugis untuk menjalankan misi dagang, adalah dibagian hulu Sei Silau. Di sana Portugis telah membangun sebuah Kemp dan Bandar Pelabuhan dengan nama Perbandaran yang ketika itu terbilang sangat ramai dikunjungi komunitas setempat dan juga yang sengaja datang dari Simalungun dan Toba.
Parbandaran ini, telah menjadi sentra ekonomi utama, yang menampung hasil bumi berupa rempah-rempah, kayu ulim, gading gajah, ternak, getah rambung merah, kulit hewan, dan bahkan budak belian.
Secara tetap, pihak Portugis telah membawa kapal-kapal kargo, bersama barang-barang impor berupa tekstil, sutera, bdelacu, barang pecah belah, segala jenis senjata tajam, cermin, candu dan lain-lainnya mudik ke kampung Perbandaran tersebut.
Kemudian barang-barang impor itu telah disebarkan ke dalam bangunan rumah toko terbuat dari papan yang sengaja dibangun di pinggir Sei Silau. Nah, pada toko-toko milik Portugis itulah orang-orang Tionghoa ditempatkan untuk menjajakan barang-barang dagangan impor.
Sedangkan kelompok Tionghoa lain, ada yang menjadi kuli di pelabuhan, membuka toko sepatu, tukang jahit pakaian dan kerani. Kegiatan usaha yang dilakukan saat itu, dengan menggunakan sistem barter.
Di mana barang-barang komiditas ekspor lokal, berupa rempah-rempah, padi, kayu ulim, ternak, kulit ternak, getah rambung merah, madu, gading gajah, bahkan “budak belian” telah ditukarkan dengan barang-barang impor dengan sistem barter tadi.
Sedangkan uang resmi yang dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah, ialah Ringgit Spanyol. Menurut Zasnis, Portugis melakukan misi dagangnya di bagian hulu Sei Silau Kabupaten Asahan mencapai 125 tahun (1516-1641M).

Saturday 28 March 2015

Meninggalnya Komedian Olga Syahputra Memberi Pelajaran Bagi Pelaku Industri Hiburan


Meninggalnya aktor komedian muda Olga Syahputra, harus menjadi uswah (contoh), ibrah (pelajaran), dan mau'izhah (nasehat). Setidaknya bagi pelaku industri hiburan di tanah air.
Mereka semakin asing dengan jasad tempat hidupnya yang memberi energi. Tidak memiliki kontrol atas raganya sendiri dengan alasan produktivitas. Kehilangan sisi manusiawinya -- aji mumpung -- mengejar upah, dengan alasan selagi ada kesempatan, namun mengabaikan kesehatan.
“Olga sering curhat. Dia bilang tiap hari benar-benar full kerja. Dua tahun lalu, saat acara sahur dia curhat sambil menangis. Beberapa kali mengatakan bahwa dia sebenarnya lelah. ‘Tapi mau gimana lagi’ kata Olga. Dia lebih takut kehilangan waktu, mumpung dapat kesempatan,” papar Aditya Gumay, pimpinan Sanggar Ananda, tempat dulu almarhum Olga menimba ilmu seni peran.
Aditya Gumay sempat tidak percaya bahwa Olga Syahputra sudah meninggal. Sebab beberapa kali komedian ini diisukan meninggal. Namun setelah kabar tersebut ramai diberitakan media, Aditya kemudian mencoba menghubungi keluarga almarhum. “Kali ini positif bahwa Olga benar meninggal,” kata Aditya Gumay, yang ditemui galamedianews.com, usai premier film “Ada Surga Di Rumahmu, di Bioskop XXI Epicentrum Kuningan Jakarta Selatan, Jum’at (27/03/2015).
Olga Syahputra meninggal di Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura, Jumat (27/3/2015), sekitar pukul 16.17 WIB, karena penyakit meningitis yang dideritanya. Komedian kelahiran Jakarta, 8 Februari 1983 ini sebelumnya sempat dirawat Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, karena diduga mengalami penyakit radang selaput otak. Karena keadaan yang juga belum membaik, Olga sempat melakukan pengobatan di Jerman, hingga akhirnya melakukan perawatan di Singapura selama hamper setahun.
Menurut Aditya Gumay, Olga gabung di Sanggar Ananda sejak ia masih pelajar kelas III SMP (tahun 2001). “Dia pemuda amat sangat pemalu. Kalau lagi latihan akting dia sosok yang suka sembunyi di belakang. Sangat gugup. Tapi seiring perkembangan waktu dan ketekunannya dia bisa sukses menjadi bintang seperti sekarang,” cerita Aditya.
Masih di Sanggar Ananda dan Smaradhana Production, tahun 2002 Olga dipercaya menjadi pemeran sekaligus presenter reality show plus “Oh Seram” (ANTV).  Tayangan ini semakin populer dan mendapat rating relatif baik sehingga melambungkan nama Olga. Di tahun 2003, Olga Syahputra bersama Ruben Onsu, dan Lia Waode, kembali dipercaya untuk memperkuat drama “New Misteri” (ANTV) yang juga mendapat respon bagus dari pemirsa. Untuk semakin menancapkan eksistensinya, ketiga bakat muda ini kemudian membentuk grup komedian “Pecel Lele” (Penghibur,Centil, Lenjeh & Lemes).
Tahun 2003 Olga Syahputra, Ruben Onsu, dan Lia Waode (Pecel Lele) tampil dalam event “Ghost Mania Festival” yang diselenggarakan atas kerjasama Smaradhana Pro dan Harian Galamedia, di Sultan Plaza, Jl. Cihampelas No. 211 Bandung. “Waktu itu, mereka enggak dibayar, bisa tidur di hotel saja sudah senang. Karena waktu itu mereka memang belum bintang dan program itu bagian dari acara promosi tayangan Oh Seram dan New Mistery,” cerita Aditya.
12 tahun berlalu kenyataan pun berubah. Olga pun terasing dari nikmatnya kebersamaan dalam berkesenian, dengan ketulusan, dan kejujurannya waktu itu. Ia masuk ke dalam surga industri yang dihadirkan kapitalisme. Industri yang seakan berhak mengekspliotasi segala hal untuk memperoleh uang yang sebesar-besarnya, yang pada akhirnya Olga menjadi tumbal mesin industri hiburan dan melupakan sisi manusiawinya. “Dia sebenarnya lelah. Tapi mau gimana lagi. Dia lebih takut kehilangan waktu, mumpung dapat kesempatan.”
Sekali lagi, sakitnya Olga Syahputra hingga berpulangnya almarhum ke rahmatullah, harus menjadi uswah (contoh), ibrah (pelajaran), dan mau'izhah (nasehat). Setidaknya bagi pelaku industri hiburan di tanah air. “Jagalah kesehatanmu! Jika bukan kita siapa lagi. Jika bukan sekarang kapan lagi.”/***Eddie Karsito
Jakarta, 28 Maret 2015

Friday 27 March 2015

YANSEN KAMTO : Anak Muda Jangan Hanya Pandai Mengeluh

Inilah ucapan sindiran dari seorang digital entrepreneur, Yansen Kamto. “Setiap hari makin banyak orang hebat bermunculan di negeri ini. Lebih banyak lagi yang ngaku hebat. Ngaku pakar. Bahkan enggak segan dan enggak sungkan naruh mantra ajaib ‘pakar’ ini di nama akun media sosial dan sejenisnya,” kata Yansen Kamto, dalam kesempatan bincang dengan galamedianews.com, di Jakarta belum lama ini.

‘Pakar-pakar’ hebat ini, kata Yansen, banyak yang berkoar-koar tentang ekosistem startup teknologi di Indonesia. Berteriak mengeluh payahnya infrastruktur yang ada. Mulai dari koneksi internet yang pelan, kurangnya dukungan pemerintah, hingga kritikan mental tempe pemuda-pemudi yang mungkin saja baru mengenal istilah ‘berani bermimpi.’

“Yang saya paling salut dari para pakar ini adalah konsistensi semangat mereka dalam mengeluh. Mengkritik ketidak-siapan ekosistem yang ada. Lalu tanpa menggunakan otak mereka untuk setidaknya berpikir apa yang bisa mereka lakukan,” sindirnya.

Yansen berharap agar lebih banyak anak muda terdorong menjadi seorang wirausaha. Jangan hanya pandai mengeluh dan menuntut. “Kalau menurut saya ya, startup negeri ini yang lebih perlu adalah membenahi mental dan cara pandang terlebih dulu. Bagaimana membangun startup dengan tujuan yang benar dan memberikan value buat orang lain,” ujar sosok muda, yang mengaku kini tengah mempelajari siroh nabawiyah (sejarah Nabi Muhammad) ini.

Yansen Kamto, adalah sahabat muda Indonesia inspiratif, yang karirnya sudah mengharumkan nama bangsa; go international. Salah satu upaya kreatifnya adalah menjalankan google business group Indonesia, komunitas terbesar kedua di dunia. Ia sudah melanglangbuana ke berbagai belahan dunia untuk mengenalkan Indonesia melalui kompetensinya.

Ia mengajar bidang bisnis berbasis teknologi di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan tengah menggarap projek innovative academy di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Sejak tahun 2011 melalui lembaga KIBAR yang dibentuknya,  pria kelahiran Pontianak Kalimantan ini menjalankan misi untuk memberdayakan talenta kreatif anak-anak Indonesia di bidang teknologi.

Sabtu (28/03/2015),  Yansen akan menginspirasi ribuan anak muda Indonesia. Dia menjadi salah satu pembicara acara talkshow Creativepreneur Corner 2015 yang digelar di The Hall Senayan City Jakarta.

Tampil juga para pembicara lain, diantaranya; Dian Sastrowardoyo (aktris/model), Andre Surya (animator), Vidi Aldiano (penyanyi dan pengusaha muda), Chairul Tanjung (pendiri CT Corp), Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Darwis Triadi (fotografer), dan Andrea Hirata (penulis novel Laskar Pelangi)./***Eddie Karsito

Jakarta, 26 Maret 2015

Thursday 26 March 2015

Nurhabibi, S.sos ( Lembaga Seni Tiara Intan Kab. Asahan )



Ibu Nurhabibi, S.Sos Lahir di Bandar Selamet, Kab. Asahan  pada tanggal 6 april 1969. Beliau adalah anak bungsu dari 6 bersaudara dari pasangan Alm. H. Arifin Saragih dan Hj. Arfiah Damanik. Darah seni mengalir dengan kental dari kedua orang tuanya yang merupakan aktivis seni di Kab. Asahan dari tahun 50-an. Mulai dari anak-anak ia telah diperkenalkan dengan dunia seni khususnya tarian tradisional oleh kedua orang tuanya dan telah melakukan pertunjukan diantaranya di Palembang, Sumatera Selatan. Uniknya dari kecil beliau tidak pernah bersekolah di sekolah seni, beliau hanya belajar secara otodidak dari orang tuanya. Rasa cintanya pada seni dan budaya juga ditularkan pada anak-anaknya. Saat ini Ibu Nurhabibi memiliki 3 orang anak, 2 diantaranya telah beranjak dewasa dan ikut juga berkecimpung di dunia seni. Dan anak yang sulung kini menuntut ilmu di Universitas Negeri Medan fakultas Seni dan Budaya. Saat ini beliau mengajar di beberapa sekolah di Kisaran kab. Asahan dan juga pernah mengajar di Pemda Kab. Labuhan Batu Utara khusus seni tari. Juga pernah menjadi pelatih tari di lingkungan Pemkab Asahan

Profil Akademik
-          1981 Menamatkan Sekolah Dasar di SD. Negeri 010084 Kisaran
-          1984 Menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Kisaran
-          1987 Menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMEA Negeri Kisaran
-          1991 Meraih Gelar Sarjana Sosial di Universitas Pembangunan Masyarakat Indonesia  ( UPMI ) di Medan


Awal sejarah perjalanan Lembaga Seni Tiara Intan bermula dari Bina Citra Asahan yang didirikan pada 12 April tahun 1996 , berubah nama menjadi Sanggar tari Tiara Intan 12 April Tahun 2005, sesuai dengan perkembangannya Sanggar Tari Tiara Intan berubah menjadi Lembaga Seni Tiara Intan tanggal 12 April 2009



Lembaga Seni tiara intan didirikan oleh ibu Nurhabibi,S.Sos dengan dukungan penuh sang suami bapak Khairul Saleh S.Sos pada tanggal 12 april 2009 di Jl.Sisingamagaraja no. 385 Kisaran. Lembaga Seni ini adalah Lembaga Seni yang pertama kali terbentuk di Kab. Asahan yang bergerak di bidang seni tari tradisional dan masih eksis sampai sekarang. Lembaga Seni Tiara Intan memiliki Akte Notaris No.8 pada tanggal 05 Desember 2009 yang disahkan oleh Notaris Timbanglaut, SH, M.Kn.  Pada saat ini Lembaga Seni Tari Tiara Intan telah pindah ke alamat Jl. Sei Piasa No.6 Kisaran. Sanggar ini awalnya hanya memiliki 12 orang murid yang terdiri dari 10 orang  putri dan 2 orang putra yang berasal dari beberapa sekolah di Kab. Asahan. Dari awal berdirinya, Lembaga Seni Tari Tiara Intan  hanya mengandalkan biaya sendiri dan iuran para anggota untuk menghidupi sanggar. Jadi Lembaga Seni Tari Tiara Intan adalah sanggar mandiri dari dulu hingga sekarang.
                Saat awal-awal berdirinya Lembaga Seni Tari Tiara Intan hanya menggunakan fasilitas seadanya, namun seiring berjalalannya waktu dan semakin meningkatnya jumlah anggota dan diikuti dengan semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan nilai-nilai kesenian budaya dan pentingnya keberadaan suatu sanggar yang mewadahi keinginan berekspresi mereka, maka Lembaga Seni Tari Tiara Intan  pun dengan senang hati menampung aspirasi siswanya dan Alhamdulillah sekarang fasilitas Lembaga Seni Tari Tiara Intan  intan sudah memadai.
                Pada saat ini jumlah siswa-siswi yang dilatih di Lembaga Seni Tari Tiara Intan adalah 71 orang yang terdiri dari 38 siswa anak anak SD dan 33 orang siswa remaja/dewasa per Januari 2014. Jadwal latihan wajib Lembaga Seni Tari Tiara Intan senin sore dan jum’at sore diperuntukkan bagi siswa anak – anak sedangkan bagi remaja/dewasa pada malam rabu dan malam sabtu. 






Saat ini siswa dan siswi Lembaga Seni Tari Tiara Intan telah mengajar seni tari di berbagai sekolah di Kab. Asahan dan di luar daerah. Dengan keahlian yang telah di dapat dari sanggar tari tiara intan diharapkan para siswanya dapat menyumbangkan keterampilanya dengan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat agar kebudayaan nasional dapat terpelihara dengan baik.
                Lembaga Seni Tari Tiara Intan juga banyak melakukan kerjasama dengan sanggar-sanggar tari yang lain yang ada di luar kab.Asahan khususnya medan yang bertujuan meningkatkan pemahaman dan saling bertukar informasi seputar seni dan budaya. Lembaga Seni Tari Tiara Intan tidak hanya mengajarkan kebudayan tarian tradisional  setempat saja tapi juga mencakup tarian aceh, jawa, bali dan lain-lain, karena Lembaga Seni Tari Tiara Intan berfikiran bukan hanya kebudayaan daerah Asahan saja yang perlu dijaga tapi juga seluruh kebudayaan Indonesia.
Setiap siswa yang masuk ke Lembaga Seni Tari Tiara Intan maka terlebih dahulu akan diajarkan tarian wajib Sumatera Utara yang bertujuan agar mereka mengetahui budaya daerahnya terlebih dahulu sebelum mempelajari tarian dari daerah lain.

VIDI ALDIANO ( Creativepreneur, Cerdas dan Mandiri )

Sabtu mendatang (28/03/2015), penyanyi Vidi Aldiano, bakal tampil di The Hall Senayan City Jakarta. Bukan urusan menyanyi, melainkan menjadi salah satu pembicara di acara talkshow Creativepreneur Corner 2015. Acara ini diselenggarakan Creative Preneur Event Creator, yang dipimpin Putri Tanjung, anak pengusaha sukses Chairul Tanjung.

Tahu apa penyanyi kelahiran Jakarta 29 Maret 1990 ini soal wirausaha? “Sejak umur 15 tahun saya sudah biasa dagang,” tukasnya tanpa menyebut bisnis dimaksud, ketika tampil di acara jumpa pers Creativepreneur Corner 2015 di Conclave jalan Wijaya Jakarta Selatan, Jumat lalu (20/03/2015).

Mau tahu kiprah penyanyi yang namanya melejit lewat tembang ‘Cinta Jangan Kau Pergi’ ini di bidang bisnis? Ia mendirikan sebuah perusahaan rekaman dengan nama VA records. Album terbarunya yang berjudul ‘MembiasakanCinta’ dirilis dari label barunya ini. “Meskipun kita masih bekerjasama Sonny Music,” ungkap Vidi, soal usaha yang didirikannya.


Selain itu, Vidi juga menggarap usaha managemen artis yang saat ini mulai mengorbitkan adiknya, Vida Akbar.Tidak sampai di sini, Vidi juga mendirikan sebuah bisnis clothing line bernama VA Apparel.

Di acara talkshow Creativepreneur Corner 2015 nanti, Vidi akan tampil bersama pembicara lain, diantaranya Dian Sastrowardoyo (aktris/model), Andre Surya (animator), Yansen Kamto (digital ernterpreneur dan pendiri KIBAR), Chairul Tanjung (pendiri CT Corp), Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Darwis Triadi (fotografer), dan Andrea Hirata (penulis novel Laskar Pelangi).

Creativepreneur merupakan ide bagaimana seorang pengusaha yang selalu berpikir ‘out of the box,’ dan menciptakan hal-hal yang inovatif dengan nilai tambah baru. “Anak-anak muda kita semakin dituntut kreatif. Lebih bebas berekspresi. Otak kanan kita bisa juga dipakai mengembangkan ide, menciptakan lapangan pekerjaan bagi anak-anak muda. Efeknya bisa mendapatkan uang hasil dari pekerjaan tersebut. Creativepreneur membuat kita lebih cerdas dan tidak bergantung kepada orang lain dan terbiasa mencari solusi,” ujar pengusaha muda, yang menyelesaikan studinya setingkat S1, di Manchester tahun 2014 lalu./***Eddie Karsito

Wednesday 25 March 2015

Sisworo Gautama Putra ( Sutradara Kelahiran Kisaran )

from: http://id.wikipedia.org/wiki/Sisworo_Gautama_Putra

Sisworo Gautama
Nama lahir
Sisworo Gautama Putera
Nama lain
Sisworo Gautama
Lahir
Meninggal
Pekerjaan
Tahun aktif
1962 - 1993
Agama
 

Sisworo Gautama Putra (lahir di Kisaran, 26 Mei 1938 – meninggal 5 Januari 1993 pada umur 54 tahun) adalah sutradara terkenal Indonesia yang selama masa keemasan perfilman Indonesia tahun 1970-an hingga awal 1990-an acapkali menyutradarai film-film horor. Filmnya yang populer ialah "Sundel Bolong", "Bangunnya Nyi Roro Kidul", "Telaga Angker", dan "Nyi Ageng Ratu Pemikat" yang dibintangi aktris Suzanna di era tahun 1980-an.
Sisworo cukup dikenal oleh para penonton yang menyukai tema filmnya, dan pemainnya kebanyakan dimainkan oleh artis laga seperti Ratno Timoer, Barry Prima, dan George Rudy. Film-film horor awalnya yang unik pada masanya telah banyak dikenal di dunia internasional, di antaranya Primitif (1978) yang kontroversial karena adalah film Indonesia pertama yang mengetengahkan kanibalisme sebagai unsur cerita utama, dan Pengabdi Setan (1980) yang telah beredar secara internasional mulai dari Jepang hingga ke Eropa dan Amerika.

Latar belakang

Sisworo dilatih sebagai sutradara pada tahun 1961. Karier sineasnya dimulai tahun 1962 dengan bekerja di studio Gema Masa Film. Dia bekerja sebagai penulis skenario lanjutan, manajer unit, manajer produksi dan kemudian asisten sutradara. Debut sutradaranya dimulai pada tahun 1972 dengan film "Dendam si Anak Haram", yang skenarionya juga ditulis olehnya. Dia mengarahkan banyak film horor laris, misalnya: "Nyi Blorong" (1982). Dia wafat pada tanggal 5 Januari 1993. Film terakhirnya, Misteri di Malam Pengantin dirilis di bioskop setelah kematiannya.

Filmografi

Tahun
Judul film
Diakui sebagai
Keterangan
1962
Ya
1963
Ya
1964
Ya
1965
Ya
1970
Ya
1971
1972
Ya
1972
Ya
Ya
Ya
1973
Ya
Ya
1976
Ya
Ya
1977
Ya
Ya
1978
Ya
1980
Ya
Ya
Ya
1981
Ya
Ya
Ya
1982
Ya
1983
Ya
Ya
1984
Ya
Ya
1985
Ya
Ya
1986
Ya
Ya
1988
Ya
1988
Ya
1989
Wanita Harimau / Santet II
Ya
Ya
1990
Ya
1991
Ya
1992
Ya
1993
Ya
 

Film yang disutradarai Sisworo Gautama
Awal karir
1970-an
Dendam si Anak Haram (1972) · Lima Jahanam (1972) · Marabunta (1973) · Manusia Terakhir (1973) · Rajawali Sakti (1976) · Cinta Kasih Mama (1976) · Papa (1977) · Dua Pendekar Pembelah Langit (1977) · Primitif (1978)
1980-an
1990-an