Sunday 27 September 2015

APA KABAR BUDAYA NEGERI ?

Banyak generasi penerus bangsa yang acuh tak acuh terhadap bangsanya sendiri. Tidak percaya ? Coba tanya remaja sekarang, siapa itu wonder girls ? siapa itu super junior ? sebagian besar dari mereka pasti tahu jawabannya. Tapi bagaimana jika pertanyaan yang diajukan adalah, dari mana asal Tarian Gubang? Apa jawabannya?

Saya coba menanyakan hal ini langsung kepada seorang siswa sekolah menengah atas. Ketika diajukan pertanyaan pertama tentang wonder girls tadi, sang remaja putri ini dengan lugas menjawab, "Wonder Girls itu girls band gitu loh yang dari Korea yang cantik-cantik sama sexy-sexy."

Lalu tibalah pada pertanyaan kedua. Mendengar pertanyaan tersebut saya ajukan, remaja cantik ini langsung menatap saya heran sambil mengernyitkan dahinya. "Gubang?, emang ada ya bang nama tarian kayak gitu?"

"Ada dong!" jawab saya. "Gubang itu tarian daerah yang asalnya dari Asahan "Oh.." katanya sambil lalu.

Melihat kenyataan di atas. Tidak dapat dipungkiri, posisi kebudayaan negeri sendiri mulai tergeser dengan budaya dari negeri orang. Tidak dapat dipungkiri, semboyan Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu tujuan pun mulai terkikis dari hati masyarakat Indonesia yang pada akhirnya merubah keadaan sosial masyarakat itu sendiri.

Bagaimana itu bisa terjadi ?

Banyak faktor yang menyebabkan perubahan sosial di dalam masyarakat. Soejono Soekanto menyebutkan 8 faktor yang mempengaruhi perubahan dalam masyarakat. Factor tersebut antara lain mencakup sistem pendidikan yang semakin maju, sikap menghargai hasil karya orang lain, sistem yang transparan di masyarakat, toleransi terhadap perbuatan menyimpang, ketidak puasan masyarakat terhadap bidang - bidang kehidupan yang akhirnya menimbulkan kebosanan, masyarakat yang heterogen dan anonym, hingga kepada semakin mudahnya kontak dengan masyarakat luar yang akhirnya menyebabkan terjadinya pencampuran budaya.

Dewasa ini, Hal - hal baru selalu terlihat lebih menarik dibandingkan dengan sesuatu yang memang sudah lama ada. Istilahnya, kalau sudah lama ada itu sudah basi! Sudah tidak penting untuk dibahas. Kebalikannya, kita sebagai anak muda itu harus selalu up to date terhadap hal-hal baru. Justru kalau kita tidak tahu trend terbaru, kita bisa dibilang kampungan. Nggak mengikuti perkembangan jaman.

Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi saya adalah perkembangan jaman seperti apa yang seharusnya diikuti oleh generasi muda kita?

Sunday 13 September 2015

Film: Aset Budaya Bangsa yang Harus Dilestarikan....!

disadur dari http://perfilman.pnri.go.id/artikel/detail/106



Oleh: Kalarensi Naibaho


Pengantar

Di suatu pagi di sebuah perpustakaan, seorang siswa SMU sedang sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustakamengenai Loetoeng Kasaroeng. Gurunya menyuruh membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat itu. Siswa tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di perpustakaan. Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang cukup banyak untuk membuat suatu esai. Namun dalam lubuk hatinya, siswa tersebut ingin sekali melengkapi informasi untuk esai itu dari film tentang Loetoeng Kasaroeng yang terkenal itu. Tapi, kemana harus mencarinya?

Di tempat lain, seorang mahasiswa sedang dilanda kebingungan. Pasalnya, mahasiswa sastra tersebut sedang menyelesaikan skripsi mengenai dialek masyarakat Jakarta di era 60 sampai 70an. Beberapa literatur yang dibacanya tidak dapat memberikan gambaran jelas mengenai dialek yang ditulisnya.Mahasiswa tersebut yakin bahwa jika seandainya ada koleksi audio visual seperti film yang dapat dia akses dengan mudah, pastilah skripsinya akan lebih sempurna. Tapi, dimana dapat memperolehnya?

Di sebuah kampus, seorang dosen muda sedang getol-getolnya melakukan penelitian mengenai cara masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari sejak era lima puluhan sampai dekade sembilan puluh. Literatur yang ada cukup banyak memberi informasi dan gambaran mengenai topik tersebut, tapi dosen tersebut merasa akan lebih lengkap jika dapat melihat sebuah naskah dalam bentuk audio visul. Film misalnya. Tapi, dimana mencarinya?

Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa masyarakat cukup menyadari tentang keberadaan film sebagai bukti eksistensi sebuah budaya. Sama seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya, maka film pun memiliki jaman dan pemirsanya. Terlepas dari kualitas sebuah film, apapun jenis dan bentuknya, film tetaplah bagian dari budaya sebuah bangsa. Dan sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa, seharusnya film juga mendapat perlakuan yang sama dengan koleksi lain. Film harus mudah diakses masyarakat luas.

Tulisan ini tidak bermaksud mengkaji persoalan kualitas atau mutu sebuah film, namun lebih fokus pada pelestarian dan akses ke film sebagai bagian dari informasi yang mencerminkan perkembangan budaya bangsa Indonesia.




Mengapa film?

Ada beberapa pengertian tentang film. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Dari definisi yang pertama, kita dapat membayangkan film sebagai sebuah benda yang sangat rapuh, ringkih, hanya sekeping compact disc (CD). Tapi di sisi lain, pengertian ke dua memberi gambaran yang lebih kompleks, sebagai perekam sejarah yang baik.