Sumber : galamedianews.com
MANUSIA adalah aktor dalam sebuah pertunjukan
besar bernama kehidupan dunia. Setiap manusia, harus mampu memainkan perannya
sesuai dengan naskah/skenario yang telah dibuat oleh sang penulis naskah
perjalanan hidup, yakni Sang Superkreator, Allah Swt. Orang yang sukses yaitu
mereka yang berhasil menjalankan peran dalam pentas kehidupan dengan baik dan
tidak keluar dari skenario-Nya, Alquranul Karim.
Keluarga adalah wadah atau organisasi seni peran
yang terdiri atas para aktor, sutradara, musisi, penata kostum, penata
artistik, dan penata cahaya. Orangtua adalah sutradara yang harus mengarahkan
sang aktor agar mampu menjalankan perannya sebagaimana yang tertulis
dalam skenario.
Anak adalah calon-calon aktor yang harus
dipersiapkan untuk menjadi pemeran utama dalam pentas kehidupan mereka
masing-masing. Mereka harus mampu menunjukkan akting yang berkualitas agar
sukses menjadi aktor hebat sarat prestasi dalam pentas superbesar.
Oleh karena itu, mereka harus ditempa berbagai
ilmu pengetahuan tentang seni drama kehidupan, mulai dari olah vokal, olah
pendengaran, olah penglihatan, olah tubuh, dan olah rasa. Mereka juga harus
belajar membaca naskah, memahami dan memaknai naskah –baik yang bersifat
dialog maupun monolog– menjiwai peran yang akan dan harus dimainkannya sesuai
naskah, serta belajar menguasai panggung. Selain itu, aktor pun harus belajar
mengenal setting, musik, suasana, dan pencahayaan yang akan turut
berpengaruh pada kekuatan pentasnya.
Hal yang paling penting dan tidak dapat diabaikan,
sang aktor harus menurut pada setiap arahan sutradara dan tidak boleh keluar
dari skenario. Kendati demikian, aktor tetap mempunyai kebebasan untuk
berekspresi, mengeksplorasi seluruh kemampuannya, dan berimprovisasi selama
masih berada dalam lingkaran skenario.
Orangtua yang berperan sebagai sutradara dalam
pertunjukan kehidupan anak-anaknya, harus mengarahkan anak-anaknya dengan pola
pembiasaan (latihan) yang terus menerus. Tanpa latihan, aktor sehebat apa pun
tidak akan tampil secara maksimal.
Olah vokal. Vokal merupakan modal dasar
bagi aktor. Dalam pendidikan keluarga, olah vokal bagi seorang anak harus
ditafsirkan sebagai tarbiyatul lisan, belajar menjaga lisan.
Keluarga sebagai kawah candradimuka harus mampu membentuk anak yang memiliki lisan
yang baik. Setiap anak sejak lahir harus diperkenalkan dan diarahkan untuk
mengucapkan kata-kata yang baik (qaulan kariman), berkata-kata benar (qaulan
siddiqan), dan tetap menjaga artikulasi pengucapan sehingga kata-katanya
menjadi sangat tegas dan bisa dipahami (qaulan syadidan).
Dalam tahap berikutnya anak harus dilatih untuk
menjaga agar setiap ucapannya mempunyai makna bagi dirinya (qaulan
tafaqqah), memiliki kedalaman, menyenangkan, tidak menyakiti lawan
biacaranya atau siapa pun yang mendengarnya, dan selalu mengandung makna
positif serta jiwa optimistis. Hal ini sesuai dengan yang diucapkan
Rasulullah saw, “Siapa pun di antara kalian yang mengaku sebagai orang
beriman hendaklah mengucapkan kata-kata yang baik. Jika tidak bisa, maka
diamlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu saja pola pelatihan ini harus melalui
metode keteladanan. Anak akan merekam semua yang diucapkan orangtua; semua yang
dilihat, didengar, dan dialaminya akan disimpannya dalam hardisc (otak),
sehingga suatu saat nanti setelah dewasa, anak akan membuka memori dan
mempraktikkan apa yang didapatnya dari orangtua. Masa ini, dalam ilmu
psiskologi disebut dengan fase imitasi. Dengan demikian, pada masa inilah pola
pendidikan melalui pembiasaan dan keteladan sangat akurat karena daya serap
otak anak sangat kuat. Kita boleh jujur pada diri sendiri, kapan kita mengenal
angka satu? Kapan kita tahu bahwa satu ditambah satu sama dengan dua? Kapan
kita mulai hapal di luar kepala kelima sila dalam Pancasila berikut
lambang-lambangnya? Ayat Alquran yang kita ucapkan dalam salat lima waktu,
kapan kita hapal? Pasti kita menjawab, “Waktu sekolah di SD”. Semua peristiwa
di masa kecil akan terekam dengan jelas sampai seseorang memasuki masa tua.
Olah pendengaran. Sebagai sutradara,
orangtua harus membimbing anaknya agar memiliki pendengaran yang bagus. Potensi
kemampuan pertama yang dimiliki manusia setelah lahir adalah pendengaran (sam’a)
lalu diikuti oleh penglihatan (abshar) dan perasaan (af-idah).
Orangtua harus melatih dan membiasakan anak-anaknya hanya untuk mendengar
hal-hal yang baik. Itulah sebabnya dalam ajaran Islam, ungkapan kalimah tayibah
diperdengarkan sejak anak lahir. Artinya, kata-kata yang dia dengar dari
orangtua dan keluarganya hanyalah kata-kata yang baik, bermakna, bergairah, menyenangkan,
optimistis, dan kata-kata yang memacu semangat hidup.
Anak yang selalu mendengar kata-kata kasar dan
makian, akan tumbuh menjadi anak-anak yang kasar, keras hati, pemarah, dan
cenderung menjadi pembangkang. Sebaliknya anak yang selalu mendengar kata-kata
yang lembut dan baik, bernada positif, mengandung optimisme, dan menggairahkan,
akan tumbuh menjadi anak yang ramah, santun, pandai menghargai orang lain, dan
selalu optimistis.
Olah penglihatan. Mata merupakan
salah satu alat indera yang paling penting. Oleh karena itu, orangtua harus
mampu memanfaatkan ketajaman indera mata anak-anaknya karena mata pun mampu
merekam semua peristiwa, baik yang jelek maupun yang baik, yang kemudian akan
diteruskan ke otak dan disimpan dalam memori. Stimulus apa pun, baik benda,
warna, maupun peristiwa yang dilihat mata akan terekam secara baik. Kita tahu
bentuk gelas, piring, meja, dan buku merupakan hasil rekaman (persepsi) mata
kita.
Jika setiap hari penghilahatan (mata) anak
disuguhi peristiwa-peristiwa negatif, tindak kekerasan, pelecehan seksual,
pornoaksi, kesewenang-wenangan, dal lain-lain, maka setelah dewasa dia akan
menjadi orang yang cenderung bersikap kasar, agresif (menyerang), mendominasi
orang lain, keras kepala, dan tinggi hati.
Olah tubuh. Olah tubuh dan olah raga agak
sedikit berbeda, tetapi keduanya mempunyai objek yang sama, yakni tubuh/fisik
kita. Olah tubuh memiliki dua dampak positif bagi anak-anak. Pertama, anak-anak
akan tumbuh menjadi sosok yang sehat. Islam menganjurkan anak-anak tumbuh menjadi
pribadi yang sehat secara fisik dan jiwa. Rasulullah mengajarkan anak-anak pada
masa itu belajar menunggang kuda dan memanah, bukan semata-mata untuk bela diri
melainkan untuk kebugaran dan kesehatan. W.R. Supratman pun menyadari hal itu,
sehingga beliau mengatakan untuk mengisi kemerdekaan ini, setiap warga harus
membangun jiwa dan raga. Jiwa dahulu, baru raga. Secara implisit lagu
"Indonesia Raya" mengandung makna pendidikan budi pekerti dan
kesehatan/kebugaran.
Kedua, olah tubuh berkaitan dengan gesture,
bahasa tubuh (body language). Orangtua yang berperan sebagai sutradara
akan memaksimalkan pengetahuan tentang bahasa tubuh pada anaknya. Dia tidak
akan mengajarkan cara berjalan yang loyo yang menunjukkan kelemahan, tetapi
juga tidak akan mengajarkan cara berjalan yang menunjukkan sikap arogan,
sebagaimana yang diingatkan Allah, “Janganlah kalian berjalan di muka bumi
ini dengan langkah yang menunjukkan kesombongan”. (QS. Luqman : 18)
Sutradara yang baik akan mengajarkan ekspresi
keramahan yang tulus ikhlas, tutur sapa yang santun, penglihatan/tatapan
lembut penuh kasih sayang, dan pendengaran tajam yang tertuju pada kebaikan. “Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung
jawabnya”. (QS. Al Isra : 36)