Friday 14 October 2016

Anak Adalah Aktor : Bebas Berekspresi dan Berimprovisasi

Oleh : NANA SUKMANA
Sumber : galamedianews.com


MANUSIA adalah aktor dalam sebuah pertunjukan besar bernama kehidupan dunia. Setiap manusia, harus mampu memainkan perannya sesuai dengan naskah/skenario yang telah dibuat oleh sang penulis naskah perjalanan hidup, yakni Sang Superkreator, Allah Swt. Orang yang sukses yaitu mereka yang berhasil menjalankan peran dalam pentas kehidupan dengan baik dan tidak keluar dari skenario-Nya, Alquranul Karim.
Keluarga adalah wadah atau organisasi seni peran yang terdiri atas para aktor, sutradara, musisi, penata kostum, penata artistik, dan penata cahaya. Orangtua adalah sutradara yang harus mengarahkan sang aktor agar mampu menjalankan  perannya sebagaimana yang tertulis dalam skenario.
Anak adalah calon-calon aktor yang harus dipersiapkan untuk menjadi pemeran utama dalam pentas kehidupan mereka masing-masing. Mereka harus mampu menunjukkan akting yang berkualitas agar sukses menjadi aktor hebat sarat prestasi dalam pentas superbesar.
Oleh karena itu, mereka harus ditempa berbagai ilmu pengetahuan tentang seni drama kehidupan, mulai dari olah vokal, olah pendengaran, olah penglihatan, olah tubuh, dan olah rasa. Mereka juga harus belajar membaca naskah,  memahami dan memaknai naskah –baik yang bersifat dialog maupun monolog– menjiwai peran yang akan dan harus dimainkannya sesuai naskah, serta belajar menguasai panggung. Selain itu, aktor pun harus belajar mengenal setting, musik, suasana, dan pencahayaan yang akan turut berpengaruh pada kekuatan pentasnya.
Hal yang paling penting dan tidak dapat diabaikan, sang aktor harus menurut pada setiap arahan sutradara dan tidak boleh keluar dari skenario. Kendati demikian, aktor tetap mempunyai kebebasan untuk berekspresi, mengeksplorasi seluruh kemampuannya, dan berimprovisasi selama masih berada dalam lingkaran skenario.
Orangtua yang berperan sebagai sutradara dalam pertunjukan kehidupan anak-anaknya, harus mengarahkan anak-anaknya dengan pola pembiasaan (latihan) yang terus menerus. Tanpa latihan, aktor sehebat apa pun tidak akan tampil secara maksimal.
Olah vokal. Vokal merupakan modal dasar bagi aktor. Dalam pendidikan keluarga, olah vokal bagi seorang anak harus ditafsirkan sebagai tarbiyatul lisan,  belajar menjaga lisan. Keluarga sebagai kawah candradimuka harus mampu membentuk anak yang memiliki lisan yang baik. Setiap anak sejak lahir harus diperkenalkan dan diarahkan untuk mengucapkan kata-kata yang baik (qaulan kariman), berkata-kata benar (qaulan siddiqan), dan tetap menjaga artikulasi pengucapan sehingga kata-katanya menjadi sangat tegas dan bisa dipahami (qaulan syadidan).
Dalam tahap berikutnya anak harus dilatih untuk menjaga agar setiap ucapannya mempunyai makna bagi dirinya (qaulan tafaqqah), memiliki kedalaman, menyenangkan, tidak menyakiti lawan biacaranya atau siapa pun yang mendengarnya, dan selalu mengandung makna positif serta jiwa optimistis.  Hal ini sesuai dengan yang diucapkan Rasulullah saw, “Siapa pun di antara kalian yang mengaku sebagai orang beriman hendaklah mengucapkan kata-kata yang baik. Jika tidak bisa, maka diamlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu saja pola pelatihan ini harus melalui metode keteladanan. Anak akan merekam semua yang diucapkan orangtua; semua yang dilihat, didengar, dan dialaminya akan disimpannya dalam hardisc (otak), sehingga suatu saat nanti setelah dewasa, anak akan membuka memori dan mempraktikkan apa yang didapatnya dari orangtua. Masa ini, dalam ilmu psiskologi disebut dengan fase imitasi. Dengan demikian, pada masa inilah pola pendidikan melalui pembiasaan dan keteladan sangat akurat karena daya serap otak anak sangat kuat. Kita boleh jujur pada diri sendiri, kapan kita mengenal angka satu? Kapan kita tahu bahwa satu ditambah satu sama dengan dua? Kapan kita mulai hapal di luar kepala kelima sila dalam Pancasila berikut lambang-lambangnya? Ayat Alquran yang kita ucapkan dalam salat lima waktu, kapan kita hapal? Pasti kita menjawab, “Waktu sekolah di SD”. Semua peristiwa di masa kecil akan terekam dengan jelas sampai seseorang memasuki masa tua.
Olah pendengaran. Sebagai sutradara, orangtua harus membimbing anaknya agar memiliki pendengaran yang bagus. Potensi kemampuan pertama yang dimiliki manusia setelah lahir adalah pendengaran (sam’a) lalu diikuti oleh penglihatan (abshar) dan perasaan (af-idah). Orangtua harus melatih dan membiasakan anak-anaknya hanya untuk mendengar hal-hal yang baik. Itulah sebabnya dalam ajaran Islam, ungkapan kalimah tayibah diperdengarkan sejak anak lahir. Artinya, kata-kata yang dia dengar dari orangtua dan keluarganya hanyalah kata-kata yang baik, bermakna, bergairah, menyenangkan, optimistis, dan kata-kata yang memacu semangat hidup.
Anak yang selalu mendengar kata-kata kasar dan makian, akan tumbuh menjadi anak-anak yang kasar, keras hati, pemarah, dan cenderung menjadi pembangkang. Sebaliknya anak yang selalu mendengar kata-kata yang lembut dan baik, bernada positif, mengandung optimisme, dan menggairahkan, akan tumbuh menjadi anak yang ramah, santun, pandai menghargai orang lain, dan selalu optimistis.
Olah penglihatan. Mata merupakan salah satu alat indera yang paling penting. Oleh karena itu, orangtua harus mampu memanfaatkan ketajaman indera mata anak-anaknya karena mata pun mampu merekam semua peristiwa, baik yang jelek maupun yang baik, yang kemudian akan diteruskan ke otak dan disimpan dalam memori. Stimulus apa pun, baik benda, warna, maupun peristiwa yang dilihat mata akan terekam secara baik. Kita tahu bentuk gelas, piring, meja, dan buku merupakan hasil rekaman (persepsi) mata kita.
Jika setiap hari penghilahatan (mata) anak disuguhi peristiwa-peristiwa negatif, tindak kekerasan, pelecehan seksual, pornoaksi, kesewenang-wenangan, dal lain-lain, maka setelah dewasa dia akan menjadi orang yang cenderung bersikap kasar, agresif (menyerang), mendominasi orang lain, keras kepala, dan tinggi hati.
Olah tubuh. Olah tubuh dan olah raga agak sedikit berbeda, tetapi keduanya mempunyai objek yang sama, yakni tubuh/fisik kita. Olah tubuh memiliki dua dampak positif bagi anak-anak. Pertama, anak-anak akan tumbuh menjadi sosok yang sehat. Islam menganjurkan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara fisik dan jiwa. Rasulullah mengajarkan anak-anak pada masa itu belajar menunggang kuda dan memanah, bukan semata-mata untuk bela diri melainkan untuk kebugaran dan kesehatan. W.R. Supratman pun menyadari hal itu, sehingga beliau mengatakan untuk mengisi kemerdekaan ini, setiap warga harus membangun jiwa dan raga. Jiwa dahulu, baru raga. Secara implisit lagu "Indonesia Raya" mengandung makna pendidikan budi pekerti dan kesehatan/kebugaran.
Kedua, olah tubuh berkaitan dengan gesture, bahasa tubuh (body language). Orangtua yang berperan sebagai sutradara akan memaksimalkan pengetahuan tentang bahasa tubuh pada anaknya. Dia tidak akan mengajarkan cara berjalan yang loyo yang menunjukkan kelemahan, tetapi juga tidak akan mengajarkan cara berjalan yang menunjukkan sikap arogan, sebagaimana yang diingatkan Allah, “Janganlah kalian berjalan di muka bumi ini dengan langkah yang menunjukkan kesombongan”. (QS. Luqman : 18) 
Sutradara yang baik akan mengajarkan ekspresi keramahan yang tulus ikhlas, tutur sapa yang santun,  penglihatan/tatapan lembut penuh kasih sayang, dan pendengaran tajam yang tertuju pada kebaikan. “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra : 36)
Olah rasa dan olah jiwa. Pada tahap berikutnya, pelatihan yang harus dijalani adalah olah rasa dan olah jiwa. Pada tahap ini orangtua akan mengarahkan anaknya agar memiliki kehalusan rasa, kelembutan jiwa, selalu bersikap rendah hati, tidak menunjukkan kesombongan, dan tidak egoistis. 
Olah rasa dan olah jiwa berkaitan dengan pembiasan akal budi, karakter, dan moralitas. Budayawan Sunda, Aat Suratin menyatakan, pendidikan yang baik dan berdampak positif yakni pendidikan yang berlandaskan pada kelembutan rasa, kelembutan akal budi. Itulah pendidikan karakter yang sesungguhnya.
Dalam Alquran, Allah Swt menegaskan bahwa kelembutan hati (lina-un) merupakan modal keberhasilan sebuah pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah saw. “Karena rahmat Allahlah kamu bersikap lemah lembut. Seandainya kamu bersikap kasar dan berkeras hati pastilah mereka akan meninggalkanmu. Oleh karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan buat mereka, dan selalu berdiskusilah dengan mereka....” (QS. Ali Imran : 159)
Rasa dan jiwa identik dengan dengan kalbu, hati. Kebaikan atau keburukan manusia berpusat pada hati. Baik-buruknya perangai dan karakteristik manusia dipengaruhi oleh hatinya. Itulah sebabnya Rasulullah saw mengatakan, “Sesunguhnya dalam tubuh ini ada segumpal darah yang sangat dominan. Jika segumpal darah ini bagus, maka selamatlah seluruh tubuhnya. Sebaliknya jika segumpal darah ini rusak, maka rusak seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari)
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bukunya yang sangat mashur, mengatakan, hati ibarat seorang panglima perang yang memiliki otoritas penuh terhadap pasukannya, sedangkan seluruh anggota tubuh manusia adalah anggota pasukan yang sangat loyal dan berdedikasi terhadap panglimanya. Jika satu saat penglimanya menyerukan pada kebaikan dan kebenaran, maka seluruh anggota tubuh secara otomatis akan bergerak pada kebaikan dan kebenaran. Sebaliknya, jika panglimanya menginstruksikan pada keburukan dan kebencian, maka seluruh pasukannya akan bergerak melakukan keburukan.

Anak sebagai pemeran utama dalam estafeta kepemimpinan, tidak bisa ditawar lagi, harus memiliki kualitas moral, etika, budi pekerti, dan karakteristik (watak) yang baik. Kuncinya adalah hati. Dengan demikian, orangtua sebagai sutradara harus mampu melatih, membiasakan, dan memenej hati anak-anaknya agar tumbuh menjadi sosok aktor terbaik yang pada saatnya nanti akan meraih penghargaan (award) yang dijanjikan Allah Swt : selamat dunia dan akhirat.
Pendidikan karakter yang selama ini didengungkan pemerintah melaui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sesungguhnya harus ditafsirkan sebagai pendidikan kalbu (madrasatul qalbi), pendidikan kasih sayang, pendidikan cinta kasih (school of love). Pendidikan akan berhasil dengan baik manakala pendidikan kalbu dan cinta kasih ditanamkan sejak anak lahir ke dunia, bahkan jauh sebelumnya, yakni saat menentukan pasangan hidup, saat seseorang menentukan calon ayah dan calon ibu. Keluarga sebagai lembaga pendidikan awal (madrasatul uwla) yang mengajarkan pendidikan insaniah melalui pendekatan pola pelatihan teater memiliki tanggung jawab untuk meletakkan pondasi manajemen hati. Menguatkan dasar-dasar karakter, akhlak, moralitas, dan spiritual –sebagai penopang ilmu pengetahauan dan teknologi– untuk bekal memainkan perannya dalam pentas kehidupan.
Membaca naskah, menghapal, memahami, dan memerankannya. Sesi paling penting bagi seorang calon aktor yaitu membaca naskah. Aktor yang baik harus bisa membaca naskah, memahaminya, menghapalnya, menjiwainya, lalu memerankannya sepenuh jiwa. Naskah/skenario dalam panggung kehidupan ini adalah Alquranul Karim, Kitab Suci.
Oleh karena itu, orangtua berkewajiban memerintahkan anak-anaknya untuk membaca Alquran sebagai rule of life (pedoman pentas) yang harus dukuasai: dibaca, dihapal, dijiwai, dan dipraktikkannya. Orangtua yang baik adalah orangtua yang selalu mengingatkan agar anak-anaknya kembali kepada Alquran  untuk menentukan segala ucap, sikap, dan tindakan.
Nabi Muhammad saw mengingatkan pada semua orangtua, “Perintahlah anak-anak kalian membaca Alquran.” Dalam kesempatan lain Rasulullah juga mengatakan, “Terangilah rumah-rumah kalian dengan bacaan Alquran.”  
Improvisasi dan Eksplorasi. Aktor memang dituntut untuk berakting di atas pentas sesuai dengan naskah/skenario yang telah ditentukan, akan tetapi pada praktiknya aktor pun diberi kebebasan mengeksplorasi segenap kemampuannya dan dibolehkan untuk berimprovisasi sesuai kemampuannya asal tidak keluar dari naskah/skenario. Improvisasi bagi seorang aktor sangat penting untuk membantu eksplorasi penjiwaan terhadap peran yang diberikan kepadanya.
Demikian pula dalam kehidupan, setiap anak mesti diberi kekebasan penuh untuk berimprovisasi, berekspresi, dan mengeksplorasi segenap potensi dirinya. Allah telah membekalinya kelengkapan fisik dan jiwa, Allah berikan akal dan hati. Oleh karena itu semua potensi yang dimiliki anak harus digali secara optimal untuk menentukan kualitas diri. Akan tetapi improvisasi harus tetap berada dalam koridor yang ditulis dalam Alquran. Kewajiban orangtua sebagai sutradara yakni membimbing, mengarahkan, mengawasi, dan mengingatkan anak agar tetap on the track.

Mengenal setting, musik, dan pencahayaan. Tiga unsur ini sangat penting untuk mendukung dan menentukan kualitas sang aktor. Setting, musik, dan pencahayaan akan membantu sang aktor mengakplorasi kemampuan aktingnya. Dalam pentas kehidupan, ketiga unsur ini ditafsirkan sebagai lingkungan yang turut berpengaruh pada karakteristik dan perilaku anak, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat (sosial). 
Lingkungan keluarga memiliki pengaruh yang cukup dominan dan berperan penting buat anak-anak, apalagi dalam lingkungan keluarga ini ada sutradara dan asisten sutradara (ayah dan ibu). Dalam pola teater lingkungan keluarga diibaratkan organisasi/perkumpulan yang mewadahi sang aktor. Dengan demikian, warna keluarga akan sangat terasa dan terlihat dalam diri sang aktor.
Keluarga menjadi kawah candradimuka untuk membentuk karakter anak. Keluarga merupakan sekolah pertama (madrasah awaliah, madrasah insaniah). Baik buruk perilaku laku anak, rajin atau malasnya tergantung dari tarbiah yang diberikan oleh keluarga. Apakah keluarga mampu menciptaan karakter yang sesuai dengan alur cerita yang ada dalam naskah/skenario atau justru malah gagal di tengah jalan. Rasulullah saw mengatakan setiap anak yang lahir itu dalam keadaan suci, baik buruknya akan tergantung pada orangtua, tergantung pada pendidikan keluarganya.
Setelah sukses ditempa dalam pendidikan awal yang diwarnai dengan rasa cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab, anak kemudian akan masuk ke organisasi yang lebih luas dan bervariasi, yakni sekolah. Sekolah bertugas melanjutkan pembangunan karakter (chacacter building) anak yang cetak birunya sudah dibentuk dalam keluarga. Anak juga akan banyak dipengaruhi oleh pola pendidikan yang diberikan di sekolah, oleh sikap dan keteladan dari gurunya, keberadaan teman-temannya, dan kurikulum yang diterapkannya.
Unsur lain yang akan turut menempa karakteristik anak yaitu lingkungan masyarakat. Anak akan belajar dalam sebuah wadah yang lebih besar dan lebih kompleks,  sehingga improvisasi dan eksplorasi kemampuannya akan semakin tertantang. Dia dituntut memainkan perannya secara total. Anak yang sudah ditempa dalam pendidikan keluarga akan belajar dari kebaikan dan keburukan lingkungannya, bukan terbawa oleh lingkungan sosial. Kebaikan akan menjadi teladan bagi dirinya dan keburukan akan menjadi cerminan dirinya tanpa harus ikut hanyut ke dalamnya.
Anak yang berkarakter yang sudah mendapat tarbiah dari madrasah awaliah dalam keluarganya secara maksimal akan survive di lingkungan sosialnya sebagaimana ikan laut yang tidak pernah asin oleh lingkungannya yang asin. Keluarga adalah padepokan, perguruan, pesantren bagi anak-anaknya. Keluargalah yang akan membekali ilmu kanuragan dan ilmu kadigjayan kepada anak untuk menghadapi berbagai rintangan dan gangguan yang akan menghambat kesuksesan dunia dan akhirat.
Akhirnya, jika semua keluarga menerapkan pola seperti ini, maka lingkungan buruk seperti kenakalan remaja, kekerasan, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, minuman keras, seks bebas, pornoaksi, pornografi, dan kejahatan seksual tidak akan mampu menggoyahkan anak-anak. Karena, mereka sudah ditempa dalam pendidikan keluarga yang mengajarkan mereka untuk membaca, memahami, dan menjiwai Alquran.**

Penulis, wartawan HU Galamedia dan galamedianews.com, Bandung

 

No comments:

Post a Comment