Sunday 7 February 2016

Istana Niat Lima Laras ( Saksi Sejarah Yang Terabaikan )


Inilah Istana Niat Lima Laras. Sebuah situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu pesisir. Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras. Meskipun namanya tidak sebesar dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun Istana yang dibangun pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama perjuangan masyarakat Melayu ketika itu.Mengunjungi dan melihat langsung kondisi Istana Lima Laras di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa lalu. Tak heran Istana penuh nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari besar. Menuju Istana Lima Laras butuh waktu lebih kurang 3 jam dari pusat Kota Medan, atau lebih kurang 120 km melalui jalan darat Medan menuju Kabupaten Batubara. Sejarah dan awal berdirinya Istana Lima Laras inipun semakin seru untuk ditelusuri.Sesuai dengan namanya, Istana Lima Laras berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. Walaupun sedikit terlihat usang, namun Istana Lima Laras masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman dan kemajuan zaman saat ini. Bahkan umur Istana inipun telah mendekati 1 abad. Namun sayang istana yang sempat megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat perhatian serius sebagai situs peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa Indonesia .
Warna hijau dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana Lima Laras, seolah menjadi icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah kiasan belaka. Bila kita memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih berbahan kayu, dan hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak termakan usia. Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat  mengagumkan. Hampir keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa Melayu. Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.
Secara geografis, Istana Lima Laras menghadap ke arah Utara atau menghadap lautan. Istana ini memiliki empat anjungan dari empat arah mata angin. Sepintas bila dilihat dari depan, hampir mirip kapal yang berlayar di laut. Istana Lima Lima Laras memang masih terlihat megah, itu karena Istana ini dibangun dengan empat lantai di dalamnya. Lantai pertama terbuat dari beton, dilengkapi balai dan ruang atau tempat bermusyawarah masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan Datuk Matyoeda. Di lantai dua, tiga dan empat terdapat sejumlah kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan untuk para tamu kerjaan, yang datang berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga jangan heran kalau Istana termegah di zaman kolonial Belanda ini, paling banyak pintu dan daun jendelanya. Ada sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di Istana ini. Untuk melihat lebih jelas dan detail lagi tentang Istana Lima Laras, kami pun di ajak oleh Amirsyah (35) menantu dari cucu Datuk Matyoeda berkeliling diruangan dalam Istana. Didalam ruangan tengah, terlihat sebuah tangga dengan model berputar yang terbuat dari kayu, tangga ini terlihat begitu indah. Seni ukiran dan model tangga, sudah menggunakan model dari Eropa. Namun 27 anak tangga diruangan Istana, juga masih berbahan dasar kayu. Inilah keunikan dan keistimewaan Istana Lima Laras. Namun sayang bila ingin berkunjung ke Istana yang pernah megah ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga ada yang sudah rusak dan patah. Harus hati-hati bila ingin menuju ke lantai dasar Istana. "Konidisi istana memang sudah banyak yang rusak, namun perbaikan terus dilakukan pihak keluarga kami untuk menjaga keutuhan Istana.Renovasi terakhir dibantu oleh pemerintah Asahan tahun 1980 an dengan biaya perbaikan Rp 234 juta", terang Amirsyah kepada Medan Bisnis.
Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih Terakhir kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap genteng, selanjutnya karena kondisi keuangan keluarga, rehap Istana pun dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain bangunan dan lantai Istana yang mulai usang, Singgasana dan perlengkapan ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha lagi. Namun bukan rusak atau terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa harus menyimpan dan merawatnya agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72) cucu kandung Datuk Matyoeda. Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan Istana milik kakeknya. 
Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.
Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.
Istana Lima Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda, Raja ke XIII  dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari Raja sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra. Menurut sejarah, kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI, dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya  pusat pemerintahan, sering berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.
 Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang.Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. 
Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit. Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Inilah peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya, sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe.

No comments:

Post a Comment