Inilah
Istana Niat Lima Laras. Sebuah situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu
pesisir. Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras. Meskipun namanya
tidak sebesar dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun Istana yang dibangun
pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan
bangsa Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama perjuangan masyarakat
Melayu ketika itu.Mengunjungi
dan melihat langsung kondisi Istana Lima Laras di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu
Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa lalu. Tak heran Istana penuh
nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca
negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari besar. Menuju Istana Lima
Laras butuh waktu lebih kurang 3 jam dari pusat Kota Medan, atau lebih kurang 120
km melalui jalan darat Medan menuju Kabupaten Batubara. Sejarah dan awal berdirinya Istana
Lima Laras inipun semakin seru untuk ditelusuri.Sesuai dengan namanya, Istana
Lima Laras berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu
Bara, Sumatra Utara. Walaupun sedikit terlihat usang, namun Istana Lima Laras
masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman dan kemajuan zaman saat ini. Bahkan
umur Istana inipun telah mendekati 1 abad. Namun sayang istana yang sempat
megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat perhatian serius sebagai situs
peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa Indonesia .
Warna hijau
dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana Lima Laras, seolah menjadi
icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah kiasan belaka. Bila kita
memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini, kondisinya sangat
memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih berbahan kayu, dan
hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak termakan usia.
Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat mengagumkan. Hampir
keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa Melayu.
Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan
karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.
Secara
geografis, Istana Lima Laras menghadap ke arah Utara atau menghadap lautan.
Istana ini memiliki empat anjungan dari empat arah mata angin. Sepintas bila
dilihat dari depan, hampir mirip kapal yang berlayar di laut. Istana Lima Lima
Laras memang masih terlihat megah, itu karena Istana ini dibangun dengan empat
lantai di dalamnya. Lantai pertama terbuat dari beton, dilengkapi balai dan
ruang atau tempat bermusyawarah masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan
Datuk Matyoeda. Di lantai dua, tiga dan empat terdapat sejumlah kamar dengan
ukuran sekitar 6 x 5 meter. Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan untuk para
tamu kerjaan, yang datang berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga jangan
heran kalau Istana termegah di zaman kolonial Belanda ini, paling banyak pintu
dan daun jendelanya. Ada sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di Istana
ini. Untuk
melihat lebih jelas dan detail lagi tentang Istana Lima Laras, kami pun di ajak
oleh Amirsyah (35) menantu dari cucu Datuk Matyoeda berkeliling diruangan dalam
Istana. Didalam ruangan tengah, terlihat sebuah tangga dengan model berputar
yang terbuat dari kayu, tangga ini terlihat begitu indah. Seni ukiran dan model
tangga, sudah menggunakan model dari Eropa. Namun 27 anak tangga diruangan
Istana, juga masih berbahan dasar kayu. Inilah keunikan dan keistimewaan Istana
Lima Laras. Namun sayang bila ingin berkunjung ke Istana yang pernah megah ini,
jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak
tangga ada yang sudah rusak dan patah. Harus hati-hati bila ingin menuju ke
lantai dasar Istana. "Konidisi istana memang sudah banyak yang rusak,
namun perbaikan terus dilakukan pihak keluarga kami untuk menjaga keutuhan
Istana.Renovasi terakhir dibantu oleh pemerintah Asahan tahun 1980 an dengan
biaya perbaikan Rp 234 juta", terang Amirsyah kepada Medan Bisnis.
Padahal
upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya
yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada
penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa
mencapai satu meter lebih Terakhir kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap
genteng, selanjutnya karena kondisi keuangan keluarga, rehap Istana pun
dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain
bangunan dan lantai Istana yang mulai usang, Singgasana dan perlengkapan
ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha lagi. Namun bukan rusak atau
terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa harus menyimpan dan merawatnya
agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72) cucu kandung Datuk Matyoeda.
Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan Istana
milik kakeknya.
Seperti
tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang
dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100
meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap
perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan
dicat.
Perbaikan
kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian
depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian
juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun
bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut,
biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah
lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya
perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin. Di depannya
ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan
berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi
ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan
bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.
Istana Lima
Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda,
Raja ke XIII dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan
akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan
menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat
dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari Raja
sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra. Menurut sejarah,
kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI, dan tunduk pada
Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras,
karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan
sebuah istana kerajaan. Sebelumnya pusat pemerintahan, sering
berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.
Niat Datuk
Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang
para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap
berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu
saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya
sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama
isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di
Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda
berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun
istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun
istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana
dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia
serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama
keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada
saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus
penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara
Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.Kekuasaan
Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang
semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah
pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta
sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh
wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis
dan bala tentara Jepang.Keluarga
Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang
sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di
Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat
menentang Belanda.
Akan tetapi,
di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh
bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah
yang dipancung di Kuala Begumit. Keganasan
yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di
kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang.
Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat
dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh
seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam
Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa
gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi
Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan
Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Inilah
peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena
pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya,
sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata
budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe.
No comments:
Post a Comment