Oleh: Kalarensi
Naibaho
Pengantar
Di suatu pagi di sebuah perpustakaan, seorang siswa
SMU sedang sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustakamengenai Loetoeng
Kasaroeng. Gurunya menyuruh membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat itu. Siswa
tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di
perpustakaan. Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang
cukup banyak untuk membuat suatu esai. Namun dalam lubuk hatinya, siswa
tersebut ingin sekali melengkapi informasi untuk esai itu dari film tentang Loetoeng
Kasaroeng yang terkenal itu. Tapi, kemana harus mencarinya?
Di tempat lain, seorang mahasiswa sedang dilanda
kebingungan. Pasalnya, mahasiswa sastra tersebut sedang menyelesaikan skripsi
mengenai dialek masyarakat Jakarta di era 60 sampai 70an. Beberapa literatur
yang dibacanya tidak dapat memberikan gambaran jelas mengenai dialek yang
ditulisnya.Mahasiswa tersebut yakin bahwa jika seandainya ada koleksi audio
visual seperti film yang dapat dia akses dengan mudah, pastilah skripsinya akan
lebih sempurna. Tapi, dimana dapat memperolehnya?
Di sebuah kampus, seorang dosen muda sedang
getol-getolnya melakukan penelitian mengenai cara masyarakat berinteraksi dalam
kehidupan sehari-hari sejak era lima puluhan sampai dekade sembilan puluh.
Literatur yang ada cukup banyak memberi informasi dan gambaran mengenai topik
tersebut, tapi dosen tersebut merasa akan lebih lengkap jika dapat melihat
sebuah naskah dalam bentuk audio visul. Film misalnya. Tapi, dimana mencarinya?
Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa masyarakat cukup
menyadari tentang keberadaan film sebagai bukti eksistensi sebuah budaya. Sama
seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya, maka film pun memiliki jaman
dan pemirsanya. Terlepas dari kualitas sebuah film, apapun jenis dan bentuknya,
film tetaplah bagian dari budaya sebuah bangsa. Dan sebagai bagian dari
khasanah budaya bangsa, seharusnya film juga mendapat perlakuan yang sama
dengan koleksi lain. Film harus mudah diakses masyarakat luas.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkaji persoalan
kualitas atau mutu sebuah film, namun lebih fokus pada pelestarian dan akses ke
film sebagai bagian dari informasi yang mencerminkan perkembangan budaya bangsa
Indonesia.
Mengapa
film?
Ada beberapa pengertian tentang film. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242), film adalah
selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di
bioskop). Film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Dari
definisi yang pertama, kita dapat membayangkan film sebagai sebuah benda yang
sangat rapuh, ringkih, hanya sekeping compact disc (CD). Tapi di sisi lain,
pengertian ke dua memberi gambaran yang lebih kompleks, sebagai perekam sejarah
yang baik.
Pengertian lebih lengkap dan mendalam tercantum
jelas dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di mana
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya
yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan
asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya. Sedangkan film
maksudnya adalah film yang secara keseluruhan diproduksi oleh lembaga
pemerintah atau swasta atau pengusaha film di Indonesia, atau yang merupakan
hasil kerja sama dengan pengusaha film asing.
Pengertian di atas jelas mengungkapkan bahwa film
adalah sebuah proses sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan
dalam bentuk gambar hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup
dalam sebuah film. Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop,
penonton, dan sebagainya. Film juga identik sebagai hasil karya seni kolektif
yang melibatkan sejumlah orang, modal, dan manajemen. Dalam proses
pembuatannya, pada dasarnya film merupakan komoditi jasa kreatif untuk
dinikmati masyarakat luas. Dinilai dari sudut mana pun, film adalah acuan
otentik tentang berbagai hal, termasuk perkembangan sejarah suatu bangsa. Film
merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek
kehidupan.
Fungsi lain tentang film adalah sebagai media
informasi. Seperti halnya dengan buku atau karya cetak lainnya, fotografi,
rekaman suara, lukisan atau karya seni lainnya, film merupakan media penghantar
informasi kepada masyarakat. Informasi yang tersaji dalam sebuah film
memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat. Banyak aspek yang dapat disajikan
dalam sebuah film, misalnya: alur cerita, karakter tokoh atau pemain, gaya
bahasa, kostum, ilustrasi musik, dan setting. Apapun jenis atau temanya, film
selalu meninggalkan pesan moral kepada masyarakat yang dapat diserap dengan
mudah karena film menyajikan pesan tersebut secara nyata. Gambar hidup yang ditampilkan
di film memberi dampak yang berbeda dari untaian kata-kata dalam sebuah buku.
Mencerna sebuah film dapat dikatakan lebih mudah daripada mencerna sebuah
tulisan. Maka sebetulnya film sangat strategis dijadikan media komunikasi bagi
masyarakat banyak.
Disamping sebagai media komunikasi, film juga
merupakan dokumen sosial, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara
nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakattertentu pada masa tertentu.
Melalui film kita tidak hanya dapat melihat gaya bahasa atau mode pakaian
masyarakat, tapi juga dapat menyimak bagaimana pola pikir dan tatanan sosial
masyarakat pada era tertentu. Sesuatu yang sulit kita bayangkan jika membaca
sebuah buku, dengan mudah dapat disajikan di film. Contohnya, di sebuah buku
kita dapat mengetahui bahwa cara berpakaian anak muda tahun 70 an adalah gaya
cutbrai dengan jambul ala Elvis Presley. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas,
kitra perlu memahami siapa itu Elvis Presley dan bagaimana gaya berpakaiannya.
Dalam film, gaya itu dengan mudah kita tahu dan kita lihat tanpa memerlukan
intelijensi atau kemampuan verbal yang tinggi. Karena itu film juga disebut
sebagai media edutainment, di mana selain mendidik film juga harus menghibur.
Mohon dicatat, unsur pedagogi (pendidikan)lah yang seharusnya menjadi yang
utama dalam sebuah film. Bukan hiburan. Melihat statusnya yang dihubungkan
dengan tatanan ekonomi karena menyangkut produksi, distribusi, eksibisi dan
masyarakat penonton, maka film akhirnya menjadi suatu produk perdagangan yang
vital dan menjadi lapangan kerja yang potensial.
Hal lain yang menonjol dari film adalah bahwa sebuah
film tercipta atas kerjasama berbagai profesi. Walaupun mereka menyebutnya
‘pekerja seni’ tapi setiap pihak yang terlibat sesungguhnya memiliki kompetensi
yang berlainan. Sutradara misalnya, disamping harus paham isi skenario dia juga
harus mengerti teknik pengambilan gambar, musik yang pas untuk tema tertentu,
ekspreasi yang tepat untuk lakon tertentu, dan sebagainya. Lalu kameramen,
disamping harus menguasai teknik-teknik pengambilan gambar, dia juga harus
mengenal karakter pemain sehingga dapat mengambil sudut-sudut yang pas ketika
si pemain (artis) berakting. Artis A mungkin harus disorot dari samping untuk
memberi kesan tertentu, sedangkan artis B harus disorot dari depan. Begitu juga
dengan pihak lain, seperti artis, seksi kostum, penata musik, penata lampu, dan
sebagainya. Bayangkan, betapa rumitnya memroduksi sebuah film karena harus
melibatkan berbagai pihak. Karena itu seringkali orang mengatakan bahwa sebuah
film yang bagus sama dengan sebuah kerjasama yang brillian.
Dari sisi lain, film juga merupakan koleksi local
content (muatan lokal) yang sangat khas. Jika buku dapat diterjemahkan dengan persis
ke dalam berbagai bahasa tanpa mengubah isi dan maknanya, maka film tidak
mungkin melakukan itu. Sebuah film asing misalnya, jika disadur menjadi film
lokal dan dimainkan oleh artis lokal, maka isi dan maknanya pasti berubah,
sekalipun tidak ada teks yang diubah. Hal ini dapat terjadi karena kesan dan
pesan dari sebuah cerita dalam film akan sangat tergantung pada cara pemain
memainkannya. Film ‘Ayat-ayat Cinta’ misalnya. Dengan cerita yang sama pasti
akan memberikan makna yang berbeda jika dimainkan oleh artis Mesir dan
syutingnya berlokasi di Arab Saudi. Ini menunjukkan betapa sebuah film tidak
pernah terlepas dari masyarakatnya. Inilah yang paling utama. Film selalu
menjadi cerminan masyarakatnya. Ada ide-ide atau pesan-pesan tertentu yang
selalu ingin disampaikan dalam sebuah film. Jika kita amati, film-film
Hollywood selalu bertema :’kemenangan atau kehebatan Amerika’. Apapun jalan
ceritanya, film Hollywood selalu berakhir dengan tema itu. Tak dapat dipungkiri
bahwa Hollywood cukup berani dan terbuka mengangkat kasus-kasus sensitif ke
layar lebar. Fakta-fakta yang ada dengan gamblang ditampilkan di layar, tapi ending
nya selalu diakhiri ‘kemenangan’. Kalau dipikir-pikir, dalam kenyataannya,
memang itulah Amerika. Selalu ingin menjadi nomor satu. Selalu ingin menjadi
pemenang. Dan tanpa kita sadari, setiap kali selesai menonton film Hollywood,
rasa kagum kita semakin bertambah pada negara ini.Betapa hebatnya teknologi
mereka. Betapa canggihnya sistem intelijen mereka. Betapa mengagumkannya
kemampuan militer mereka. Kekaguman yang tercipta hanya karena menonton sebuah
film besutan mereka. Secara mudah dapat dikatakan bahwa Hollywood berhasil
membentuk opini masyarakat dunia mengenai Amerika melalui film. Bayangkan!
Begitu juga dengan film-film Bollywood. Tema-tema yang diangkat identik dengan
budaya dan persoalan-perssoalan khas masyarakat di negara tersebut. Maka, film
memang sesuatu yang khas, unik, dan nyata.
Mengapa
harus dilestarikan?
Mengacu pada alasan-alasan di atas, semestinya tidak perlu ada pertanyaan
‘mengapa film harus dilestarikan?’ Sudah sangat jelas bahwa film adalah salah
satu bukti sejarah yang dapat dicerna masyarakat dengan mudah. Pelestarian film
sebagai karya cipta manusia bernilai tinggi telah mendapatkan perhatian besar baik
dalam skala nasional maupun internasional. Tak kurang dari UNESCO yang telah
menerbitkan rekomendasi bagi negara-negara anggotanya untuk perlindungan dan
pelestarian citra bergerak sebagai khazanah budaya bangsa, yang tertuang dalam Rocommendation
for the safeguarding and preservation of moving images (UNESCO, 1980).
Rekomendasi ini menekankan bahwa pada prinsipnya semua citra bergerak produksi
nasional harus dianggap oleh negara sebagai bagian integral dari khazanah citra
bergerak (moving image heritage). Indonesia sendiri sudah menerbitkan UU No. 4
Tahun 1990 sebagai landasan hukum pelaksanaan serah simpan karya cetak dan
karya rekam. UU ini ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa karya cetak dan
karya rekam merupakan salah satu hasil budaya bangsa yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran
informasi, serta pelestarian kekayaan budaya bangsa berdasarkan Pancasila.
Disamping itu dalam rangka pemanfaatan hasil budaya bangsa tersebut, karya
cetak dan karya rekam perlu dihimpun, disimpan, dipelihara, dan dilestarikan di
suatu tempat tertentu sebagai koleksi nasional. Maka jelas sekali bahwa
pelestarian film menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Perlu ditekankan pula bahwa persoalan pelestarian memang bukan persoalan
mutu. Dari segi kualitas, mungkin kebanyakan film kita hanya enak dilihat,
namun tidak enak dinikmati. Tapi soal mutu atau kualitas tak layak dijadikan
asalan untuk tidak memperhatikan pelestariannya. Hikmat Darmawan (redaktur rumahfilm.org)
mengatakan "Rekaman seperti itu bukan semata-mata untuk nostalgia, tapi
terutama demi kesadaran akan sejarah. Melalui film generasi muda dapat melihat
dan ’merasakan’ rangkaian sejarah masa lalu. Mestinya film juga bisa
menghidupkan sejarah. Karakter mediumnya yang audio-visual, yang lebih mudah
diserap oleh massa daripada bacaan, akan membantu sejarah menemui publik yang
luas". Betapa menariknya, misalnya, jika kita dapat menjajarkan sejumlah
film dengan setting Jakarta dari era 1950-an hingga era 1990-an? Pasti akan
terkumpul banyak informasi sosio-kultural yang kaya tentang proses Jakarta
menjadi metropolitan, misalnya: dari masa jalanan lengang melompong hingga masa
munculnya rimba beton; atau dari masa Jakarta penuh dengan sepeda dan becak,
lalu masa oplet, motor trail hingga masa mobil sport; atau dari masa kaum
lelaki bercelana jengki, lalu beralih ke model cutbrai, hingga masa jeans
belel; atau dari masa potongan rambut wanita model punk rock, lalu model Lady
Diana, kemudian booming model Demi Moore, sampai model shagy dan lyer.
Bagaimana
melestarikannya?
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa melestarikan berarti
memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja.
Namun pelestarian, apa pun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian
bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya. Tidak rusak,
tidak musnah. Demikian juga halnya dengan film. Tidak cukup dengan menyimpan
dan memelihara, film seharusnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas
untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Jika hanya dengan menyimpan dan
memelihara, sejujurnya semua film pastilah disimpan di tempat tertentu. Minimal
produsernya pasti menyimpan arsip film tersebut. Tapi bagaimana masyarakat tahu
bahwa sebuah film disimpan di tempat tertentu. Terlebih lagi bagaimana jika
masyarakat ingin mengakses film tersebut? Kemana harus mencarinya? Lembaga apa
yang harus dihubungi? Maka fokus perhatian kita seharusnya pada persoalan akses
dan pemanfaatan.
Sebuah film dikatakan lestari jika film tersebut tetap dapat diakses dan
dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau budaya
bangsa. Dan untuk itu film tersebut harus berada dalam jangkauan masyarakat, di
tempat yang dapat dengan mudah diakses. Film seharusnya diperlakukan sama
dengan koleksi buku, yang dengan mudah dapat diperoleh di perpustakaan, menjadi
milik publik karena film juga mengandung nilai sejarah.
Menurut Hikmat, hal pertama yang perlu disadari
adalah bahwa pelestarian harus diawali dengan apresiasi. Persoalannya adalah
kesadaran mayoritas masyarakat kita untuk memelihara sesuatu masih sangat
minim, apalagi kalau menyangkut milik umum. Hal ini dapat kita buktikan dari
perilaku sehari-hari masyarakat yang kurang peduli kepada fasilitas umum,
seperti telepon umum (banyak yang sengaja dirusak), halte (penuh dengan coretan
dan pengrusakan), dan lain-lain. Indikasi ini juga terasa sampai ke hal-hal yang
lebih serius, termasuk dalam hal pelestarian film. Artinya, belum muncul iklim
preservasi yang optimal. Keinginanmemelihara suatu produk budaya biasanya
bersifat sporadis dan hanya dilakukan oleh kelompok tertentu yang menganggap
produk tersebut penting bagi mereka.
Merujuk pada konsep pelestarian, penulis menganggap
bahwa ada tiga hal pokok yang menjadi permasalahan utama dalam pelestarian
film, yaitu : pengumpulan (akuisisi), pengolahan, dan akses.
Pengumpulan (akuisisi), merupakan kegiatan awal yang
menentukan sebuah film akan disimpan. Pemerintah atau lembaga terkait harus
dapat meyakinkan bahwa setiap film yang dibuat harus memiliki arsip di tempat
tertentu. Pengumpulan juga dapat menjadi gambaran tingkat kreatifitas pekerja
seni dari segi kuantitas. Masyarakat dengan mudah dapat mengetahui berapa
jumlah film yang dibuat dalam satu tahun. Akuisisi dapat melibatkan lembaga
pendidikan, rumah produksi, pekerja seni, dan perpustakaan.
Pengolahan, berkaitan dengan pemeliharaan agar film
tersebut tetap utuh seperti aslinya. Mengingat fisik film yang cenderung rapuh,
maka diperlukan kebijakan pengolahan yang tepat, khususnya menyangkut fasilitas
penyimpanan agar tidak cepat rusak. Pengolahan juga berkaitan dengan akses
kepada masyarakat luas. Perkembangan teknologi dewasa ini sangat memungkinkan
untuk melakukan pengolahan dengan mudah. Teknologi digital dan penyimpanan (storage)
memungkinkan kita untuk mengolah koleksi film dan menjadikannya bagian dari
bahan pustaka. Pengolahan dapat melibatkan Perpustakaan Nasional RI atau
perpustakaan lainnya.
Akses, maksudnya adalah bagaimana masyarakat dapat
mengakses koleksi film dengan mudah. Selama ini pemerintah dan pekerja seni
lebih fokus pada pembuatan dan penyimpanan film, tapi jarang memikirkan persoalan
akses. Jika kita sepakat bahwa film adalah cerminan sejarah dan budaya bangsa,
bukankah seharusnya film juga menjadi milik publik? Jika buku dengan mudah
dapat dibeli di toko buku atau diakses di perpustakaan, bukankah film juga
seharusnya ’mudah’ diakses? Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa film harus
tersedia di toko buku atau di perpustakaan dalam bentuk keping-keping CD, tapi
minimal film harus memiliki jangka waktu ’eksklusif’. Contohnya, satu tahun
setelah peredarannya, sebuah film seharusnya menjadi milik publik, dapat
diakses dengan mudah. Akses ini sangat penting karena sesungguhnya sesuatu yang
secara fisik ada, tidaklah berarti kalau tidak dilihat dan diketahui orang
lain. Film hanya dapat lestari jika masyarakat memang mengetahui isi film
tersebut, dan untuk itu aksesnya harus dipermudah. Akses dapat dilakukan di
perpustakaan-perpustakaan yang memang dekat dengan masyarakat luas.
Siapa
yang harus melestarikan?
Indonesia sebetulnya merupakan negara yang cepat
tanggap terhadap perlunya arsip film, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini
dibuktikan oleh riwayat Sinematek Indonesia (SI). SI pertama kali
dirintisJanuari 1971 dalam lingkungan LPKJ (sekarang IKJ) dengan nama Pusat
Dokumentasi Film. Saat itu lembaga ini hanya menghimpun dokumen-dokumen untuk
kepentingan penulisan sejarah film Indonesia untuk kepentingan kurikulum di
LPKJ. Jadi, bukan melestarikan arsip film. Pada tahun 1973, setelah mendapatkan
orientasi di Nederland dan Eropa, muncullah gagasan mendirikan arsip film. Gagasan
ini berjalan terseok-seok karena persoalan dana. Dana hanya didapat sedikit
dari subsidi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta.
Pada tanggal 20 Oktober 1975, bersamaan dengan berdirinya gedung/lembaga
Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, berdirilah Sinematek Indonesia (SI) dengan SK
Gubernur DKI. SI merupakan arsip film pertama di Asia tenggara. Tahun 1978 SI
diterima bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film),
dan merupakan arsip pertama di Asia yang tergabung dalam asosiasi internasional.
Biaya operasional disubsidi oleh Pemda DKI. Sejak tahun 1978 subsidi dicabut, karena Pemda DKI merasa tidak bertanggung jawab membina film. Selanjutnya SI mengalami persoalan berkaitan dengan dana. Namun terlepas dari persoalan di atas, yang jelas tujuan didirikannya SI adalah sebagai:
1)
menjadi arsip-arsip film;
2)
menjadi pusat pengumpulan dan pengolahan data;
sumber rujukan bagi studi dan penelitian mengenai film di Indonesia;
3)
menjadi pusat kegiatan penelitian kegiatan film;
4)
mendukung industri film dalam negeri dan Asia dengan
ketersediaan bahan-bahan yang terdokumentasikan serta data yang otentik;
5)
meningkatkan pengetahuan orang secara non didaktif
tentang film;
6)
memberikan layanan sebaik mungkin kepada masyarakat
untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap film;
7)
menjadi pusat hubungan-hubungan antara dunia
perfilman dan dunia keilmuan
Tujuan didirikannya SI jelas-jelas mendukung pelestarian film. Namun SI
bukanlah satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelestarian
tersebut. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) termasuk lembaga yang
memiliki kewajiban menyimpan seluruh karya cetak dan karya rekam yang ada di
negeri ini. Berdasarkan Keppres No.50 Tahun 1998, Deputi Pengembangan Bahan
Pustaka dan Layanan Informasi merupakan unit kerja yang terlibat secara
langsung dalam upaya pemberlakuan UU No.4 Tahun 1990 untuk film cerita dan
dokumenter. Lalu ada lembaga lain, yaitu Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) yang juga mempunyai tanggung jawab menyimpan arsip film. Walaupun dengan
proporsi yang berbeda, ke tiga lembaga di atas memiliki tanggung jawab nyata
dalam pelestarian film, namun keterlibatan ini juga menimbulkan ketidakjelasan
karena terjadinya duplikasi pekerjaan dan tanggung jawab. Karena itu pemerintah
perlu mendukung dengan kebijakan yang tegas, relevan, serta menyediakan dana
yang memadai. Kebijakan yang dimaksud adalah menyangkut pembuatan peraturan
sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan melibatkan masyarakat seni menyusun
kebijakan tersebut. Sedangkan mengenai dana, secara formal pemerintah harus
dengan tegas menjadikan pelestarian film sebagai bagian integral dari kegiatan
pelestarian sejarah dan budaya bangsa. Disamping itu juga pemerintah perlu
melibatkan perusahaan atau para pengusaha untuk memberi kontribusi dalam hal
dana, misalnya dengan cara memberi kesempatan beriklan di film tersebut atau
sebagai bagian dari kegiatan sosial perusahaan. Di sisi lain, pemerintah juga
dapat memberdayakan unsur pendidikan melalui sekolah untuk meningkatkan
kesadaran mengenai pentingnya pelestarian film sejak dini. Kurikulum di sekolah
dapat dirancang sedemikian rupa yang mengarah pada apresiasi para siswa
terhadap film, misalnya dengan mengadakan acara menonton bersama atau membahas
suatu film secara bersama-sama. Kegiatan yang lebih bermanfaat tentu dengan
mengadakan kajian-kajian atau penelitian ilmiah tentang film.
Pekerja seni sejujurnya memiliki peran besar yang tanpa disadari amat
berpengaruh terhadap apresiasi masyarakat akan film. Sebagaimana dikatakan
Hikmat Darmawan, pelestarian harus dimulai dari apresiasi. Menurut penulis,
apresiasi hanya dapat tercipta jika pekerja seni memahami apa yang dibutuhkan
masyarakat. Artinya, masyarakat akan memberikan apresiasi terhadap film jika
film tersebut memang sesuai dengan keinginan mereka. Sekarang ini, pekerja
seni, para pembuat film atau sinetron sering sekali mengumbar pernyataan bahwa
masyarakat kita butuh mimpi, dan itulah yang diberikan oleh dunia sinema. Para
sineas selalu berpatokan pada apa yang mereka sebut dengan ’pasar’. Menurut
mereka, apa yang sedang booming di masyarakat, itulah pasar. Kalau saat ini
semua layar lebar dan layar kaca penuh dengan adegan ’hantu’, maka pasarnya
memang demikian. Mungkin betul. Tapi kita lupa bahwa pasar itu sebetulnya
dibuat dan ditentukan oleh para pembuat film itu sendiri. Penonton, sebagai
konsumen tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan
film atau sinetron seperti itu. Penonton sebetulnya hanya sebagai ’korban’.
Jika sampai saat ini bioskop masih tetap penuh, sebetulnya karena penonton
memang tidak punya pilihan. Sementara mereka butuh hiburan. Maka, kalau
ditelisik lebih mendalam, bukan masyarakat yang menentukan pasar, tapi pembuat
film lah yang ’memaksa’ masyarakat membuat pasar itu. Itu sebabnya, masyarakat
mudah sekali beralih jika ada pembanding, film asing misalnya.
Menurut penulis, sudah saatnya para pekerja seni khususnya pembuat film
memiliki filosofi atau komitmen bahwa tujuan membuat film adalah untuk
mendidik, tidak semata-mata menghibur. Para artis, sutradara, dan segenap
komponen terkait harus terus mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan selama
ini. Apakah akting yang mereka tampilkan di layar lebar atau layar kaca
hanyalah dalam rangka melaksanakan pekerjaan sebagai artis? Ataukah hanya untuk
popularitas dan kenyamanan finansial? Kalau dipikir-pikir, para pekerja seni
tidak beda dengan pekerja di bidang pendidikan: guru, dosen, penulis, peneliti.
Masyarakat akan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap film, jika apa yang
disajikan di layar lebar benar-benar memberikan sesuatu yang bersifat positif
bagi mereka. Bukan mimpi. Bukan akting. Sebagaimana penulis uraikan di atas,
film-film Hollywood dan Bollywood selalu mencerminkan siapa mereka. Bangsa-bangsa
lain menjadikan film sebagai media mentransfer ideologi dan budaya mereka
kepada masyarakat dunia, tanpa harus membuat penontonnya bermimpi. Kenapa kita
tidak bisa melakukan itu?
Di pihak lain, masyarakat harus terus memberikan masukan positif dan
terlibat aktif dalam pelestarian film. Banyak kalangan yang dapat berperan
dalam hal ini, seperti masyarakat pencinta dan pengamat film, wartawan film,
dan kalangan akademik. Masyarakat harus berani menentukan pilihan sehingga para
pekerja seni terus meningkatkan kualitas profesional mereka. Penonton harus
berani membentuk pasar yang memaksa pekerja seni terus belajar dan mengakaji
peran strategis mereka dalam masyarakat.
Penutup
Bagaimanapun, film sebagai fenomena atau gejala kehidupan modern sudah
merasuk jauh dan diterima sebagai poduk budaya yang memiliki berbagai dimensi
kekaryaan dan ketrampilan. Artinya, film telah menempati posisi tertentu dalam
masyarakat Indonesia. Film juga telah menjadi produk perdagangan yang sangat
vital dan menjadi lapangan kerja berbagai profesi. Film adalah sesuatu yang
unik, nyata dan merupakan cerminan masyarakat. Berangkat dari konsep itulah,
maka pelestarian film perlu mendapat perhatian atau keterlibatan berbagai
pihak, mulai dari pemerintah, pekerja seni, pengusaha, penonton, dan pihak
lain. Undang-Undang yang sudah ada harus menjamin masyarakat dapat mengakses
dan memanfaatkan film sebagai bahan pembelajaran.Untuk itu diperlukan komitmen
yang jelas dari berbagai pihak:
Komitmen pemerintah, menyediakan lingkungan yang kondusif bagi
pengembangan dan pelestarian film,mencakup kebijakan yang relevan dan luwes,
serta dukungan dana. Komitmen ini juga mencakup keterlibatan lembaga-lembaga
terkait seperti SI, Perpustakaan, lembaga pendidikan, dan perusahaan. Mengingat
Sinematek Indonesia sudah melakukan kegiatan pelestarian film selama ini,
pemerintah perlu memberi dukungan penuh pada SI dalam hal akuisisi dan
pengolahan danmemberdayakan PNRI sebagai gerbang atau portal untuk akses ke
masyarakat luas karena publik lebih mengenai perpustakaan sebagai tempat untuk
mengakses informasi.
Komitmen pekerja seni untuk menjalankan profesinya dengan merujuk pada
fungsi film sebagai media pendidikan bagi masyarakat. Penting sekali bagi
pekerja seni untuk mengasah ketajaman mereka ’mencium’ selera pasar melalui
kajian-kajian ilmiah.
Komitmen masyarakat dengan mengembangkan sikap-sikap kritis dan asertif
dalam memberikan penilaian terhadap film, serta menjadikan film sebagai media
pembelajaran.
Memelihara film adalah bagian dari memelihara sejarah. Bukankah bangsa
yang besar adalah bangsa yang mengerti dan menghargai sejarah?
No comments:
Post a Comment