Monday 17 August 2015

KEMERDEKAAN YANG TERBELENGGU

Tak terasa sudah 70 tahun Bangsa Indonesia Merdeka.NAMUN setiap kali kita merayakan kemerdekaan selalu timbul pertanyaan mendalam di dasar hati, benarkah kita sudah merdeka seutuhnya? Keresahan kehidupan berbangsa selama ini menjadi cermin nyata bahwa kemerdekaan itu lebih merupakan seremonial dan simbol belaka.
 
Sebagai bangsa, kemandirian diri sering tidak bisa kita tunjukkan. Apa yang menjadi prinsip-prinsip kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau tidak, lebih banyak ditentukan bukan oleh diri kita sendiri.
Kita hanya merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa merdeka, kita justru lebih banyak melahirkan ma nusia dengan jiwa terpenjara. Manusia yang terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa sendiri maupun bangsa lain. Itulah kondisi sepanjang kemerdekaan selama ini. Begitu sering diperingati sekaligus kita abaikan makna hakikinya dalam kehidupan sehari-hari. Kemerdekaan tidak menjelma dan menjiwai kehidupan sehari-hari. Demi kepentingan jangka pendek, sebagaimana dicontohkan dalam teladan para elit, kemerdekaan bahkan sering digadaikan dalam belenggu kenikmatan sesaat.
 
Bangsa merdeka tidak hanya merdeka dari belenggu penjajahan, tetapi merdeka sejati ketika mampu menentukan masa depannya tanpa tergantung kekuatan lain. Bangsa ini memang sudah merdeka sebagai bangsa, tetapi belum merdeka dari ketergantungan pada kekuatan hitam pemodal yang mendikte cara berkehidupan, berpikir, bertindak, dan bernalar. Bangsa ini selalu dikendalikan kekuatan itu yang mengakibatkan orientasi bangsa hanya mencari hal-hal yang memuaskan indra.
Merdeka, menurut para pendiri Republik, dimaksudkan sebagai sebuah kebebasan atas penindasan dan perbudakan dari kolonialisme. Kalau makna kemerdekaan ialah berakhirnya sejarah kolonialisme yang ditandai dengan sifat eksploitasi manusia, yakni manusia hanya dijadikan alat produksi semata, berarti kita sekarang belum merdeka seutuhnya. Kita baru merdeka dalam tahap simbol formal bahwa Indonesia tidak dijajah negara lain secara fisik. Kita belum merdeka dalam arti yang digariskan founding fathers.
 
Faktanya ialah sebagian besar rakyat kecil masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan oleh elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam yang seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian sangat kecil orang. Sebagian kecil orang itu mungkin sudah merasa merdeka, tetapi sebagian besar masyarakat belum merasakan kemerdekaan dalam arti demikian. Sumber alam bukan untuk kepentingan mereka, melainkan demi kepentingan para pemilik modal.
Dengan demikian, refleksi kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam sebuah pertanyaan besar, sejauh mana bangsa ini mempertanyakan kembali cita-cita kemerdekaan yang mendasar.
Kita harus bisa menjawab pertanyaan, apakah kemerdekaan adalah situasi ketika kita sebagai bangsa sebenarnya tidak lebih dari sebagai `kuli di negeri sendiri’? Apakah kemerdekaan adalah hilangnya kebebasan untuk menentukan hari depannya sendiri?
 
Bangsa ini semakin lama semakin kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian dalam menentukan hari depannya. Hari depan kita semakin suram karena rakyat miskin semakin miskin. Realitas tersebut tidak membuat kita sebagai bangsa tergugah. Kemerdekaan yang selama ini diharapkan memberi ruang bagi ekspresi kebebasan rakyat dari eksploitasi penjajahan-secara politik, sosial, maupun ekonomi–realitasnya belum sepenuhnya demikian. Realitasnya, selama ini kita merdeka masih dalam keadaan dibe lenggu elite-elite kita sendiri dan kekuatan modal.
 
Kenyataan itulah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi tata dunia yang tidak lagi mengenal belas kasih terhadap manusia miskin. Jumlah kaum miskin di negara berkembang terus meningkat karena proses pemiskinan itu terjadi melalui pola-pola yang halus dan sistematis. Salah satu cara utamanya ialah dengan menciptakan ketergantungan kepada sistem ekonomi global.
Aktivitas kehidupan dalam mengisi kemerdekaan sering terbelenggu pada upacara yang penuh dengan simbol belaka. Itulah yang membuat bangsa ini tidak mampu lagi memaknai arti kemerdekaan yang paling esensi.
Cita-cita kemerdekaan sirna bila bangsa ini tidak berani berubah menjadi `autentik’. Bangsa yang autentik ialah bangsa yang berani mengambil risiko terhadap pilihan alternatif dalam mengembangkan jati diri kebangsaannya. Jati diri kita memang telah dirumuskan dengan baik dalam tujuan kemerdekaan, yakni untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan kebodohan. Akan tetapi, jati diri itu terkubur karena elite politik lebih suka berkompromi dengan para pemilik modal besar daripada dengan rakyat. Itulah yang membuat orientasi dasar kemanusiaan dan keadilan tidak berkembang karena pendidikan hanya untuk menciptakan manusia pragmatis.
 
Akibatnya ruang publik kita hanya diisi kaum petualang yang menggunakan gelar hebat, tapi tidak isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. Namun realitasnya, polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan. Itu terjadi karena kita, sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta.
 
Maka lihatlah, semakin hari negeri ini mulai kehilangan politisi yang cinta rakyatnya, elite yang setia mendampingi masyarakatnya, agamawan yang bijak kepada umatnya, intelektual yang loyal terhadap publiknya, dan pemodal yang memberikan cinta kepada pasarnya. Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia mengorbankan harta benda dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa. Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia mengorbankan harta benda dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa.“

"Jika kita melihat bagaimana awalnya bangsa ini berani meng-proklamirkan, tiada lain karena mereka yakin bahwa atas Rahmat dan Karunia-Nya lah Bangsa ini berani untuk merdeka, merdeka lahir maupun batin"

No comments:

Post a Comment