Tak terasa sudah 70 tahun Bangsa Indonesia Merdeka.NAMUN setiap kali kita
merayakan kemerdekaan selalu timbul pertanyaan mendalam di dasar hati,
benarkah kita sudah merdeka seutuhnya? Keresahan kehidupan berbangsa
selama ini menjadi cermin nyata bahwa kemerdekaan itu lebih merupakan
seremonial dan simbol belaka.
Sebagai bangsa,
kemandirian diri sering tidak bisa kita tunjukkan. Apa yang menjadi
prinsip-prinsip kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau tidak,
lebih banyak ditentukan bukan oleh diri kita sendiri.
Kita hanya
merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa merdeka, kita justru
lebih banyak melahirkan ma nusia dengan jiwa terpenjara. Manusia yang
terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa sendiri
maupun bangsa lain. Itulah kondisi
sepanjang kemerdekaan selama ini. Begitu sering diperingati sekaligus
kita abaikan makna hakikinya dalam kehidupan sehari-hari. Kemerdekaan
tidak menjelma dan menjiwai kehidupan sehari-hari. Demi kepentingan
jangka pendek, sebagaimana dicontohkan dalam teladan para elit,
kemerdekaan bahkan sering digadaikan dalam belenggu kenikmatan sesaat.
Bangsa merdeka
tidak hanya merdeka dari belenggu penjajahan, tetapi merdeka sejati
ketika mampu menentukan masa depannya tanpa tergantung kekuatan lain.
Bangsa ini memang sudah merdeka sebagai bangsa, tetapi belum merdeka
dari ketergantungan pada kekuatan hitam pemodal yang mendikte cara
berkehidupan, berpikir, bertindak, dan bernalar. Bangsa ini selalu
dikendalikan kekuatan itu yang mengakibatkan orientasi bangsa hanya
mencari hal-hal yang memuaskan indra.
Merdeka, menurut
para pendiri Republik, dimaksudkan sebagai sebuah kebebasan atas
penindasan dan perbudakan dari kolonialisme. Kalau makna kemerdekaan
ialah berakhirnya sejarah kolonialisme yang ditandai dengan sifat
eksploitasi manusia, yakni manusia hanya dijadikan alat produksi semata,
berarti kita sekarang belum merdeka seutuhnya. Kita baru merdeka dalam
tahap simbol formal bahwa Indonesia tidak dijajah negara lain secara
fisik. Kita belum merdeka dalam arti yang digariskan founding fathers.
Faktanya ialah
sebagian besar rakyat kecil masih sering berada di alam pemerasan dan
kekerasan oleh elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam yang
seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan untuk
kemakmuran sebagian sangat kecil orang. Sebagian kecil orang itu mungkin
sudah merasa merdeka, tetapi sebagian besar masyarakat belum merasakan
kemerdekaan dalam arti demikian. Sumber alam bukan untuk kepentingan
mereka, melainkan demi kepentingan para pemilik modal.
Dengan demikian,
refleksi kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam sebuah pertanyaan
besar, sejauh mana bangsa ini mempertanyakan kembali cita-cita
kemerdekaan yang mendasar.
Kita harus bisa
menjawab pertanyaan, apakah kemerdekaan adalah situasi ketika kita
sebagai bangsa sebenarnya tidak lebih dari sebagai `kuli di negeri
sendiri’? Apakah kemerdekaan adalah hilangnya kebebasan untuk menentukan
hari depannya sendiri?
Bangsa ini
semakin lama semakin kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang
memiliki kemandirian dalam menentukan hari depannya. Hari depan kita
semakin suram karena rakyat miskin semakin miskin. Realitas tersebut
tidak membuat kita sebagai bangsa tergugah. Kemerdekaan yang
selama ini diharapkan memberi ruang bagi ekspresi kebebasan rakyat dari
eksploitasi penjajahan-secara politik, sosial, maupun
ekonomi–realitasnya belum sepenuhnya demikian. Realitasnya, selama ini
kita merdeka masih dalam keadaan dibe lenggu elite-elite kita sendiri
dan kekuatan modal.
Kenyataan itulah
yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi tata dunia yang
tidak lagi mengenal belas kasih terhadap manusia miskin. Jumlah kaum
miskin di negara berkembang terus meningkat karena proses pemiskinan itu
terjadi melalui pola-pola yang halus dan sistematis. Salah satu cara
utamanya ialah dengan menciptakan ketergantungan kepada sistem ekonomi
global.
Aktivitas
kehidupan dalam mengisi kemerdekaan sering terbelenggu pada upacara yang
penuh dengan simbol belaka. Itulah yang membuat bangsa ini tidak mampu
lagi memaknai arti kemerdekaan yang paling esensi.
Cita-cita
kemerdekaan sirna bila bangsa ini tidak berani berubah menjadi
`autentik’. Bangsa yang autentik ialah bangsa yang berani mengambil
risiko terhadap pilihan alternatif dalam mengembangkan jati diri
kebangsaannya. Jati diri kita memang telah dirumuskan dengan baik dalam
tujuan kemerdekaan, yakni untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan
kebodohan. Akan tetapi, jati
diri itu terkubur karena elite politik lebih suka berkompromi dengan
para pemilik modal besar daripada dengan rakyat. Itulah yang membuat
orientasi dasar kemanusiaan dan keadilan tidak berkembang karena
pendidikan hanya untuk menciptakan manusia pragmatis.
Akibatnya ruang
publik kita hanya diisi kaum petualang yang menggunakan gelar hebat,
tapi tidak isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi
publik setiap hari di media. Namun realitasnya, polemik itu tidak mampu
menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi
keberdayaan. Itu terjadi karena kita, sebagai bangsa, miskin cita-cita
dan cinta.
Maka lihatlah, semakin hari negeri ini mulai kehilangan politisi yang cinta rakyatnya, elite yang setia mendampingi masyarakatnya, agamawan yang bijak kepada umatnya, intelektual yang loyal terhadap publiknya, dan pemodal yang memberikan cinta kepada pasarnya. Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia mengorbankan harta benda dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa. Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia mengorbankan harta benda dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa.“
"Jika kita melihat bagaimana awalnya bangsa ini berani meng-proklamirkan,
tiada lain karena mereka yakin bahwa atas Rahmat dan Karunia-Nya lah
Bangsa ini berani untuk merdeka, merdeka lahir maupun batin"
No comments:
Post a Comment