Banyak generasi penerus bangsa yang acuh tak acuh terhadap bangsanya
sendiri. Tidak percaya ? Coba tanya remaja sekarang, siapa itu wonder
girls ? siapa itu super junior ? sebagian besar dari mereka pasti tahu
jawabannya. Tapi bagaimana jika pertanyaan yang diajukan adalah, dari
mana asal Tarian Gubang? Apa jawabannya?
Saya coba menanyakan
hal ini langsung kepada seorang siswa sekolah menengah atas. Ketika
diajukan pertanyaan pertama tentang wonder girls tadi, sang remaja putri
ini dengan lugas menjawab, "Wonder Girls itu girls band gitu loh yang
dari Korea yang cantik-cantik sama sexy-sexy."
Lalu tibalah pada
pertanyaan kedua. Mendengar pertanyaan tersebut saya ajukan, remaja
cantik ini langsung menatap saya heran sambil mengernyitkan dahinya.
"Gubang?, emang ada ya bang nama tarian kayak gitu?"
"Ada dong!"
jawab saya. "Gubang itu tarian daerah yang asalnya dari Asahan "Oh.." katanya sambil lalu.
Melihat kenyataan di
atas. Tidak dapat dipungkiri, posisi kebudayaan negeri sendiri mulai
tergeser dengan budaya dari negeri orang. Tidak dapat dipungkiri,
semboyan Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu tujuan pun
mulai terkikis dari hati masyarakat Indonesia yang pada akhirnya merubah
keadaan sosial masyarakat itu sendiri.
Bagaimana itu bisa terjadi ?
Banyak faktor yang menyebabkan perubahan sosial di dalam masyarakat.
Soejono Soekanto menyebutkan 8 faktor yang mempengaruhi perubahan dalam
masyarakat. Factor tersebut antara lain mencakup sistem pendidikan yang
semakin maju, sikap menghargai hasil karya orang lain, sistem yang
transparan di masyarakat, toleransi terhadap perbuatan menyimpang,
ketidak puasan masyarakat terhadap bidang - bidang kehidupan yang
akhirnya menimbulkan kebosanan, masyarakat yang heterogen dan anonym,
hingga kepada semakin mudahnya kontak dengan masyarakat luar yang
akhirnya menyebabkan terjadinya pencampuran budaya.
Dewasa ini,
Hal - hal baru selalu terlihat lebih menarik dibandingkan dengan sesuatu
yang memang sudah lama ada. Istilahnya, kalau sudah lama ada itu sudah
basi! Sudah tidak penting untuk dibahas. Kebalikannya, kita sebagai anak
muda itu harus selalu up to date terhadap hal-hal baru. Justru kalau
kita tidak tahu trend terbaru, kita bisa dibilang kampungan. Nggak
mengikuti perkembangan jaman.
Yang jadi pertanyaan selanjutnya
bagi saya adalah perkembangan jaman seperti apa yang seharusnya diikuti
oleh generasi muda kita?
Sunday, 27 September 2015
Sunday, 13 September 2015
Film: Aset Budaya Bangsa yang Harus Dilestarikan....!
disadur dari http://perfilman.pnri.go.id/artikel/detail/106
Oleh: Kalarensi
Naibaho
Pengantar
Di suatu pagi di sebuah perpustakaan, seorang siswa
SMU sedang sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustakamengenai Loetoeng
Kasaroeng. Gurunya menyuruh membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat itu. Siswa
tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di
perpustakaan. Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang
cukup banyak untuk membuat suatu esai. Namun dalam lubuk hatinya, siswa
tersebut ingin sekali melengkapi informasi untuk esai itu dari film tentang Loetoeng
Kasaroeng yang terkenal itu. Tapi, kemana harus mencarinya?
Di tempat lain, seorang mahasiswa sedang dilanda
kebingungan. Pasalnya, mahasiswa sastra tersebut sedang menyelesaikan skripsi
mengenai dialek masyarakat Jakarta di era 60 sampai 70an. Beberapa literatur
yang dibacanya tidak dapat memberikan gambaran jelas mengenai dialek yang
ditulisnya.Mahasiswa tersebut yakin bahwa jika seandainya ada koleksi audio
visual seperti film yang dapat dia akses dengan mudah, pastilah skripsinya akan
lebih sempurna. Tapi, dimana dapat memperolehnya?
Di sebuah kampus, seorang dosen muda sedang
getol-getolnya melakukan penelitian mengenai cara masyarakat berinteraksi dalam
kehidupan sehari-hari sejak era lima puluhan sampai dekade sembilan puluh.
Literatur yang ada cukup banyak memberi informasi dan gambaran mengenai topik
tersebut, tapi dosen tersebut merasa akan lebih lengkap jika dapat melihat
sebuah naskah dalam bentuk audio visul. Film misalnya. Tapi, dimana mencarinya?
Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa masyarakat cukup
menyadari tentang keberadaan film sebagai bukti eksistensi sebuah budaya. Sama
seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya, maka film pun memiliki jaman
dan pemirsanya. Terlepas dari kualitas sebuah film, apapun jenis dan bentuknya,
film tetaplah bagian dari budaya sebuah bangsa. Dan sebagai bagian dari
khasanah budaya bangsa, seharusnya film juga mendapat perlakuan yang sama
dengan koleksi lain. Film harus mudah diakses masyarakat luas.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkaji persoalan
kualitas atau mutu sebuah film, namun lebih fokus pada pelestarian dan akses ke
film sebagai bagian dari informasi yang mencerminkan perkembangan budaya bangsa
Indonesia.
Mengapa
film?
Ada beberapa pengertian tentang film. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242), film adalah
selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di
bioskop). Film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Dari
definisi yang pertama, kita dapat membayangkan film sebagai sebuah benda yang
sangat rapuh, ringkih, hanya sekeping compact disc (CD). Tapi di sisi lain,
pengertian ke dua memberi gambaran yang lebih kompleks, sebagai perekam sejarah
yang baik.
Subscribe to:
Posts (Atom)